Perang Ghaib Aceh-Jakarta

                   Oleh : Fauzan Azima

IMPIANNEWS.COM.

Aku lenyap kepada sifat Allah
Engkau lenyap kepada sifatku
Aku tiada menduakan Allah
Engkaupun tiada pernah menduakan aku.

Meurah Johan membaca mantra isyarat tersebut untuk menundukan Laksamana Angkatan Laut China, Putri Nian Nio Lingkhe. Laksamana itu menyerahkan diri dan bersujud dihadapan serta dengan keralaan menikah dengan sang sultan Kerajaan Darussalam, Meurah Johan, anak sulung Adi Genali dari kerajaan Linge.

Kekuatan Aceh adalah mempertahankan tradisi kekuatan ghaib yang dilestarikan secara turun temurun. Memakai kekuatan ghaib orang menjadi cerdas, berwibawa, bangsa menjadi kuat dan bangsa lain harus berulang fikir untuk menakkukkannya.
Itulah tradisi Aceh sejatinya. Berapa sudah bangsa asing ingin menjajah, namun tidak ada yang mampu mengalahkan Aceh pada waktu itu karena Aceh bukan saja negeri keramat, tetapi juga banyak orang-orang keramat.

Ketika Laksamana Keumalahayati memerintahkan pasukan Aceh memasang “meriam puteh ulee” di sepanjang pantai dari Ulee lhe sampai Krueng Raya saat Pasukan Belanda akan menyerang Aceh.
Hal tersebut terdengar aneh bagi kalangan awam. 

Pasukan Aceh mengikuti perintah laksamana dengan nungging menghadap Samudera Hindia dan Selat Malaka. Aksi pasukan Aceh itu telah menciutkan nyali Pasukan Belanda karena di mata mereka Pasukan Aceh sudah siap menembakkan meriam ke arah pasukan Belanda.

Bagaimana dahsyatnya ledakannya kalau meriam itu dilontarkan, “gamit”nya saja berukuran besar, demikian fikiran pasukan Belanda.

Sejak berdiri kerajaan Aceh, secara integral mengamalkan ilmu kalam, ilmu ghaib dan ilmu musyahadah sehingga Aceh pada saat itu, tidak saja melihat persoalan dengan satu dimensi, tetapi sudah menembus sampai ke dimensi empat.

Artinya orang Aceh sudah bisa membaca hati dan fikiran seseorang, dan hebatnya bisa mengendalikannya.

Penjajah Belanda sadar ghaib di belakang kekuatan Aceh. Sehingga dengan seluruh daya upaya mereka menghancurkan kekuatan itu dan mereka berhasil menghapus kekuatan itu sejak tahun 1920.
Sejak itu kejayaan kekuatan ghaib sudah mulai redup sehingga orang Aceh mengalami krisis identitas atau “hana tusoe droe le.”

Para ulama yang mengkaji ilmu ghaib dan musyahadah digantikan dengan ulama yang baru belajar di pesantren.

Seperti anak kuliahan yang masih semister 3 dan 4 yang merasa paling pandai dan senang dengan perdebatan. Seiring dengan redupnya ghaib, redup pula kejayaan Aceh. Beberapa kali ingin bangkit, tetapi sangat mudah dikalahkan, termasuk pada saat gerakan DI/TII yang dari segi persenjataan dan dukungan rakyat sudah sepatutnya Aceh berdiri sendiri. Cita-cita itu kandas dengan sedikit muslihat

Bung Karno membawa ghaib “Nyi Ratu Roro Kidul” ketika menghadap kepada Abu Krueng Kale, untuk meredam Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Abu Daud Beureueh. 

Peristiwa tersebut dikenal dengan “air mata buaya Soekarno” yang sebenarnya tidak salah. Itulah perang! Segala daya upaya ditempuh untuk menang, termasuk dengan cara ghaib.

Kini Aceh sedang berhadapan dengan Jakarta. Katakan soal referendum! Semangat saja tidak cukup.

 Tidak ada “perang” tanpa logistik. Termasuk “logistik” ghaib, Aceh masih sangat jauh dari Jakarta. Salah satu syarat untuk menghadirkan ghaib kembali ke Aceh adalah dengan membersihkan diri dari sifat-sifat tidak terpuji.

Soal merdeka adalah soal mudah dengan syarat setiap pribadi orang Aceh berhati suci.


(Mendale, 2 Juni 2019)