Oleh : Syaefudin Simon
Wajah tanpa dosa dengan senyum mengembang menghiasi sosok Bu Ani Yudhoyono ketika malaikat Izrail menjemputnya. Bu Ani pun pergi dari “rumah dunia yang fana” untuk kembali ke “rumah keabadian” di alam spiritual sana.
Matikah Bu Ani? Tidak! Physically, Bu Ani memang telah tiada. Tapi ruhnya tetap hidup di alam azali. Pinjam istilah filsuf Pierre Teilhard de Cardin – Bu Ani sebagai “spiritual being” telah menyelesaikan pengalamannya di kehidupan tubuh manusia (human physical body).
Dalam berbagai kitab suci agama-agama diceritakan, bagaimana ruh-ruh suci (the sacred spiritual beings) menjelma dalam kehidupan fisik untuk membimbing manusia. Di hari ketiga kematiannya, misalnya, Yesus turun dari langit untuk menemui murid-muridnya di Jerusalem, mengabarkan bahwa Tuhan akan selalu bersama orang-orang yang mengembangkan cinta kasih. Sampai hari ini, misalnya, banyak cerita bagaimana Yesus menemui hamba-hamba yang menyintai Tuhannya. Mereka disembuhkan dari penyakit yang secara medis tak mungkin diobati.
Dalam Islam, misalnya, banyak sahabat yang ditemui dalam keadaan sadar oleh Rasululah. Saat Sayidina Ustman terjepit menghadapai para pemberontak yang hendak membunuhnya, misalnya, Rasulullah hadir untuk menjemput Usman ke alam spiritual. Imam Ibnul Jazari mengatakan dalam mukaddimah kitabnya, Al-Hishnul Hashin, bahwa beliau pernah melihat dan berdialog dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga (sadar). Ibnul Arabi, misalnya, saat menulis kitab Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah, mengaku dibimbing Rasulullah langsung.
Gambaran di atas sekadar menunjukkan, bahwa manusia pada hakikatnya – seperti dikatakan Filsuf de Cardin – adalah makhluk spiritual (ruh). Ketika ia hidup di dunia, ruh itu sedang melakukan sebuah “journey” di mayapada. Dan journey itu, bukan sebuah petualangan yang tanpa makna. Tapi sebuah ujian atau kesempatan ruh untuk melakukan hal-hal terbaik selama perjalanannya di human body tersebut (Al-Mulk 2) agar ia kembali ke alam azalinya dengan penuh kedamaian (salam). Kenapa demikian? Ruh tak akan mampu kembali ke alam fitrahnya dengan damai, jika ia masih tercemar dan berlumur polutan dosa.
Teknologi modern kini sudah pada tahap ingin “mengabadikan” kehidupan manusia di dunia. Neale Donald Walsch, seorang trans-spiritual indigo, misalnya, menyatakan, suatu ketika, manusia akan mampu menembus teknologi ruh. Saat itu, tulis Walsch dalam buku Conversation With God, manusia menjadikan kematian sebagai journey of life. Manusia bisa memilih, kapan mau mati, kapan mau hidup seperti pilihan orang modern untuk berwisata dan selfie. Iptek di masa datang mampu menciptakan tubuh (physical body) yang setiap saat bisa dikompatibelisasi untuk menerima kehadiran ruh (spiritual being).
Dari penelitian, diketahui, spiritual being adalah sebuah entitas yang dinamis dan mobile. Jika tubuh tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual being yang dinamis dan mobile, maka ia akan pergi. Orang yang sakit jelas kurang mobile, sehingga spiritual being pun tidak betah. Lalu pergi meninggalkannya. Kepergian spiritual being yang mobile dari physical body yang rusak itulah yang disebut kematian. Kelak, jika manusia mampu membuat medium physical body yang selalu hidup (dengan metabolisme yang selalu update), maka spiritual being pun bisa diundang kembali.
Perkembangan ilmu hipnosis misalnya, sudah sampai pada tahap memindahkan spiritual being dari satu physical body ke physical body yang lain. Dr. Andy Rakasiwi, seorang ahli dan praktisi hipnosis dari Malang, misalnya, pernah menunjukkan kepada saya, bagaimana memindahkan ruh dari seseorang ke orang lain. Andy mampu berbicara dengan spiritual being dan menembus waktu. Dua tahun sebelum Pilpres, misalnya, Andy melihat Jokowi adalah capres pemenang, siapa pun wakilnya.
Fenomena seperti Andy, misalnya, terdapat pada Roy Kiyoshi, pengasuh program Menembus Mata Batin di ANTV. Roy – seorang trans dimensional indigo – mampu menembus waktu dan berdialog dengan spiritual being, sehingga menjadi “tontonan menarik” tiap malam di ANTV. Fenomena Andy, Roy, dan Neale adalah sebuah indikasi bahwa kelak, teknologi ruh bisa dikuasai manusia. Jika saat ini – perkembangan teknologi informatika dan digital – telah membawa manusia kepada “revolusi industri ke-4” -- kelak teknologi spiritual being akan membawa manusia kepada revolusi industri ke-X (9, 10?). Yang jelas, masa itu akan datang dan mengejutkan kehidupan manusia.
Fisikawan dan futuris Michio Kaku dari New York University, misalnya, menggambarkan, manusia pada era revolusi industri ke-X, mampu hidup di antara galaksi dengan memanfaatkan energi bintang-bintang yang melimpah ruah. Saat itu manusia, berkat sains supercanggih, mampu menjadikan dirinya makhluk abadi!
Muhammad adalah manusia istimewa (hidup di era pra-revolusi industri abad ke-6 M) yang pandangannya menembus dimensi waktu. Beliau menyatakan, jika manusia mati, maka semua amalannya akan terputus, kecuali tiga hal. Pertama peninggalan amal jariyah (charity), ilmu yang bermanfaat (science for human future), dan anak saleh (manusia yang punya perspektif masa depan).
Prof. Nazarudin Umar, imam besar Masjid Istiqlal, menafsirkan anak saleh dalam Hadist Nabi tersebut dengan perspektif yang sangat luas. Menurutnya, anak saleh dalam hadis di atas, bukan hanya sekadar anak biologis, tapi juga anak sosiologis, anak intelektualis, dan anak teknologis. Hadist di atas, menunjukkan bahwa Nabi Muhamad telah mampu menembus dimensi waktu dan menunjukkan kepada kita, bagaimana konsep dan strategi untuk menjadi abadi dalam kehidupan. Yaitu memberikan kontribusi pada keabadian dengan charity, pengembangan sains, dan harapan (doa) untuk kebaikan masa depan. Dengan demikian, hadist Nabi itu sebuah petunjuk untuk manusia dalam menuju keabadian. Bukan hanya keabadian dalam pengertian agama, tapi juga dalam alam nyata!
Selamat jalan Bu Ani. Semoga Bunda menikmati spirtitual journey yang indah dan damai di alam ruh sana. (*)