Strategi kesabaran Iran tampaknya telah gagal. Iran tak bisa lagi hanya menunggu Trump lengser. Risiko hanya diam dan menerima pukulan yang lebih kuat dari sanksi AS yang tanpa henti selama 18 hingga 20 bulan—atau bahkan lebih lama jika Trump terpilih kembali—telah tumbuh sangat tinggi. Negosiasi baru bisa menjadi satu-satunya pilihan Teheran.
Oleh: John Hannah (Foreign Policy)
Saya tidak melihat banyak misteri dalam ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran baru-baru ini. Sanksi AS menghancurkan ekonomi Iran. Ketegangan ini terbukti semakin mengancam para pemimpin Iran.
Sebagai tanggapannya, para pemimpin Iran telah berjuang untuk melawan dan memaksa Amerika Serikat untuk menyerah, tanpa memicu potensi konflik bunuh diri dengan militer AS.
Komunitas intelijen AS mendeteksi lonjakan persiapan Iran untuk menargetkan kepentingan Amerika, yang menghasilkan keputusan untuk menambah pasukan AS di wilayah tersebut, serta berbagai peringatan publik yang dimaksudkan untuk menghalangi setiap tantangan.
Keputusan Iran untuk memberikan perlawanan tidak mengejutkan. Saya menulis tentang hal ini di Foreign Policytujuh bulan lalu—tepat sebelum Presiden AS Donald Trump memberlakukan kembali sanksi AS terhadap ekspor minyak Iran.
Pada saat itu, saya mengatakan bahwa dalam beberapa bulan mendatang, rezim Iran kemungkinan akan mendapat tekanan yang lebih besar daripada kapan pun sejak Revolusi 1979, dan bahwa seiring Amerika Serikat memulai kampanye perang ekonomi dengan Iran, pemerintahan Trump menerima perlawanan dari Teheran—tidak melalui konfrontasi konvensional dengan militer AS, tetapi kemungkinan besar menggunakan proksi dan menargetkan sekutu regional Washington yang lebih lemah, atau menyerang aset dan personel AS.
Sebagai contoh: tuduhan sabotase di mana Arab Saudi menuduh Iran menyerang kapal tanker minyak komersial di luar Selat Hormuz pada bulan Mei, serangan pesawat tanpa awak oleh pemberontak Houthi yang didukung Iran terhadap infrastruktur minyak Saudi yang penting, dan roket yang diluncurkan di dekat Kedutaan Besar AS di Baghdad—yang mungkin dilakukan oleh milisi pro-Iran.
Dengan Teheran menghadapi prospek kehancuran besar dalam ekspor minyak—sektor penting ekonomi rezim Iran—jelas bahwa Amerika Serikat dan Iran telah memasuki fase baru yang lebih berbahaya dalam pertikaian mereka yang telah berlangsung empat dekade. Ini dengan cepat menyadarkan para pemimpin Iran bahwa Rencana A—strategi pilihan mereka untuk menunggu berakhirnya pemerintahan Trump—mungkin tidak dapat berjalan. Risiko hanya diam dan menerima pukulan yang lebih kuat dari sanksi AS yang tanpa henti selama 18 hingga 20 bulan—atau bahkan lebih lama jika Trump terpilih kembali—telah tumbuh sangat tinggi.
Presiden Trump menyebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPA) sebagai “kesepakatan terburuk yang pernah ada.” (Foto: Reuters/Jonathan Ernst)
Saya akui bahwa butuh sedikit lebih lama daripada yang saya harapkan bagi rezim Iran untuk mulai melepaskan Qassem Suleimani—kepala cabang paramiliter Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) yang dikenal sebagai Pasukan Quds. Bahkan setelah sanksi minyak kembali berlaku penuh pada bulan November lalu dan ekspor Iran dengan cepat dipotong setengahnya, rezim itu sebagian besar hanya diam selama enam bulan.
Tampaknya pada awalnya, mereka mempertimbangkan bahwa langkah yang lebih bijaksana adalah bersabar dan menunggu berakhirnya sanksi sampai setelah Pemilu AS 2020, ketika Trump mungkin akan digantikan oleh Presiden AS yang lebih akomodatif—atau jika Trump dimakzulkan dan dari jabatannya lebih cepat.
Sampai saat itu, para pemimpin Iran tampaknya bertaruh pada dua faktor yang akan memungkinkan mereka untuk terus maju secara ekonomi. Pertama, bahwa negara-negara Eropa—yang ingin menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran—akan mengeluarkan mekanisme pembayaran yang kredibel untuk membiayai perdagangan berkelanjutan dengan Iran. Kedua—dan bahkan yang lebih penting—bahwa Amerika Serikat akan terus mengeluarkan keringanan berkala (seperti yang terjadi November lalu) untuk beberapa negara (yang paling penting China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Turki) yang memungkinkan mereka untuk terus membeli minyak Iran dalam jumlah yang signifikan.
Sayangnya, kedua taruhan itu gagal. Walau Eropa telah mengeluhkan penarikan Trump dari kesepakatan nuklir Iran dan penerapan kembali sanksi, namun mereka tidak berdaya untuk melakukan banyak hal tentang hal itu. Tidak peduli sebagus apa pun mekanisme yang dibuat oleh para birokrat Eropa di atas kertas untuk menghindari sanksi, namun perusahaan-perusahaan besar, bank, dan para pemimpin bisnis Eropa tidak mau menerima mekanisme itu, menolak mengambil risiko tertangkap melanggar ketentuan Departemen Keuangan AS.
Yang lebih penting adalah pengumuman Amerika Serikat pada akhir April bahwa mereka tidak akan lagi memperpanjang keringanan sanksi kepada negara-negara yang terus mengimpor minyak mentah Iran.
Keputusan tersebut mewakili perubahan drastis dalam kampanye tekanan maksimum pemerintahan Trump.
Tujuan AS sekarang adalah untuk mendorong ekspor minyak Iran ke titik nol, menutup sepenuhnya sumber pendapatan dan mata uang rezim Iran yang paling penting.
Dengan cepat menjadi jelas bahwa ancaman itu sangat nyata. Perusahaan-perusahaan Jepang dan Korea Selatan segera menghentikan impor. India dan Turki mengikutinya. Pada awal Mei, bukti menunjukkan bahwa bahkan perusahaan-perusahaan energi besar China telah menangguhkan pembelian dari Iran.
Hampir dalam semalam, prospek ekonomi Iran berubah dari mengerikan menjadi bencana. Ekonomi Iran sudah diperkirakan menyusut hingga 6 persen pada tahun 2019, di mana inflasi berkobar dan mata uang telah kehilangan hampir dua pertiga nilainya.
Dorongan AS untuk mengakhiri semua penjualan minyak sekarang mengancam akan mendorong ekonomi Iran ke dalam spiral kematian yang belum pernah dialami sebelumnya—dan semuanya terjadi di saat citra rezim di mata rakyat Iran telah terkikis secara substansial.
Semakin terdesak, rezim Iran tidak bisa lagi menunggu Trump lengser. Dibutuhkan jalan keluar dari dilema yang sekarang berkembang—Rencana B yang mungkin memperlambat sanksi yang mengancam akan menghancurkannya.
Tidak mengherankan, upaya pertamanya adalah dengan memanfaatkan kekuatan Iran: strategi terorisme, sabotase, dan perang proksi yang sudah teruji, bersama dengan ancaman baru untuk meningkatkan program nuklirnya. Dengan menyerang negara tetangganya yang lebih lemah, menakuti pasar minyak, dan meningkatkan momok perang mahal lainnya di Timur Tengah yang sangat ingin dihindari semua orang—termasuk Donald Trump—Iran berharap untuk memaksa Amerika Serikat untuk mundur dari kampanye tekanan maksimumnya.
Tantangan bagi pemerintahan Trump adalah untuk menunjukkan bahwa Rencana B Iran—eskalasi—akan menjadi jalan buntu seperti halnya Rencana A, strategi kesabaran. Melalui pengerahan pasukannya baru-baru ini ke kawasan itu dan ancaman untuk merespons secara agresif serangan-serangan yang didukung Iran terhadap kepentingan AS, pemerintah Trump berharap untuk mencegah Iran mengujinya.
Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton menjawab pertanyaan dari para wartawan, setelah mengumumkan bahwa AS akan menarik diri dari protokol Wina dan “Perjanjian Amity” 1955 dengan Iran, seiring Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders terlihat dalam konferensi pers di Gedung Putih di Washington, AS, pada tanggal 3 Oktober 2018. (Foto: Reuters/Leah Millis).
Risiko konflik yang lebih luas tentu saja harus ditanggapi dengan serius. Tetapi harus dikatakan bahwa perang masih dapat dihindarkan. Israel telah menyerang ratusan sasaran Iran di Suriah selama dua tahun terakhir, mungkin menewaskan puluhan tentara Iran dalam proses itu—namun itu tidak memicu perang yang lebih luas. Jelas bahwa rezim Iran tidak tertarik terlibat dalam konflik besar dengan Israel, apalagi dengan Amerika Serikat, yang memiliki militer paling kuat di dunia.
Jika konflik konvensional dimulai, kemampuan AS untuk membalas akan sangat besar. Para pemimpin Iran tahu itu dan hampir pasti tidak menginginkannya.
Trump yang menggelikan bahwa perang akan menjadi “akhir resmi Iran” mungkin dibuat dengan sengaja, tetapi ia memiliki pemahaman yang sama—bahwa konflik seperti itu akan menimbulkan risiko dan biaya yang jauh lebih besar pada stabilitas dan keamanan Iran daripada Amerika Serikat.
Bahaya sebenarnya bagi Washington bukanlah perang umum, tetapi zona abu-abu—kondisi antara perdamaian dan perang—di mana Pasukan Quds dapat bertindak secara sembunyi-sembunyi dan melalui proksi untuk menyerang kepentingan AS tanpa menimbulkan pembalasan signifikan.
Coba ingat-ingat Lebanon pada awal tahun 1980-an atau Irak pada tahun 2000-an.
Terjadi pertumpahan darah yang lambat tapi stabil. Atau pikirkan sabotase baru-baru ini terhadap tanker minyak asing di dekat Teluk atau serangan terhadap infrastruktur energi Saudi yang penting, yang jika dipertahankan dan diintensifkan selama beberapa bulan, dapat mengakibatkan lonjakan besar dalam harga minyak, yang menyebabkan kerusakan serius pada ekonomi global.
Presiden AS macam apa yang akan mengambil risiko perang terhadap Iran karena segelintir kapal komersial Eropa disabotase secara berkala di Samudra Hindia oleh pasukan bayangan yang tidak dapat secara meyakinkan terbukti bertindak atas perintah Iran?
Jika Amerika Serikat dapat dengan sukses menghalangi keunggulan zona abu-abu Iran melalui kombinasi ancaman yang kredibel, kekuatan militer yang luar biasa, dan ketidakpastian di antara para penguasa Iran tentang apa yang mungkin dilakukan Trump jika diprovokasi, Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei akan menghadapi pilihan yang menyiksa: antara melawan bencana sanksi ekonomi AS yang akan merusak rezimnya, atau menelan pil pahit, kehilangan muka, dan mencari cara untuk menerima tawaran Trump untuk membuka negosiasi.
Opsi terakhir terlihat semakin mungkin. Terlepas dari semua diskusi baru-baru ini tentang perang yang akan datang, terdapat banyak tanda-tanda bahwa putaran baru perundingan AS-Iran bisa saja terjadi— termasuk fakta bahwa upaya diplomasi AS-Iran, Swiss, dan Oman, tampaknya akan kembali operasi.
Pada kunjungannya baru-baru ini ke Jepang, Trump secara terbuka memberi wewenang kepada Perdana Menteri Jepang untuk ikut serta menjadi mediator dengan Iran, sambil berusaha meyakinkan Khamenei bahwa perubahan rezim tidak sesuai dengan kebijakan AS, dan bahwa negosiasi baru mengenai program nuklir Teheran dapat memberi Iran “peluang untuk menjadi negara besar dengan pemimpin yang tetap sama.”
Namun negosiasi baru apa pun akan menghadirkan tantangan serius bagi kebijakan AS sendiri. Para tokoh garis keras AS terkait Iran, khususnya, melihat sejarah di mana para diplomat AS dan Barat telah berulang kali dikalahkan oleh rekan-rekan Iran mereka—dengan kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 menjadi contoh utama.
John Hannah adalah rekan pengamat senior di Foundation for Defense of Democracies, yang berfokus pada strategi AS. Selama masa kepresidenan George W. Bush, dia menjabat selama delapan tahun sebagai staf Wakil Presiden Cheney, termasuk sebagai Penasihat Keamanan Nasional Wakil Presiden.
Keterangan foto utama: Presiden Iran Hassan Rouhani saat menghadiri konferensi pers di kantor Kanselir Federal Austria di Wina, pada tanggal 4 Juli 2018. (Foto: Reuters/Lisi Niesner)
Gagalnya Strategi Kesabaran: Iran Tampaknya Tak Bisa Tunggu Trump Lengser