Penulis:
MUHAMMAD ABUBAKAR
Ketua Umum Pengurus Wilayah Ikatan Wartawan Online (PW-IWO) Provinsi Aceh
|
Pers Sebagai Pilar Keempat Demokrasi Setelah Eksekutif dan Legislafif
Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif dan legislatif dan yudikatif, dengan berita yang dihasilkan oleh wartawan kadang kadang muncul kericuhan, tapi kadang kadang tanpa karya jurnalis akan selalu muncul penindasan terhadap masyarakat.
Walaupun berada diluar sistem politik normal kehadiran wartawan dan keberadaan perusahaan media memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial.
Kehadiran pers menjadi tolak ukur kualitas demokrasi di Indonesia. Pers mempunyai peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi melakukan abuse of power.
"Demokrasi akan berkembang dengan baik jika pers juga berkembang dengan baik. Karena itu perusahaan media dan wartawan juga harus menjaga hati nurani untuk menjaga keberlansungan demokrasi di Indonesia.
Sebagai pilar keempat disebuah negara, di Indonesia pers telah dijamin kemerdekaan nya dan diakui oleh Undang Undang Dasar 1945 untuk menjalankan fungsi kontrol bila terjaddi penyimpangan terhadap demokrasi dan hukum.
Di Indonesia kebebasan pers belum dapat dirasakan oleh masyarakat, terutama bagi wartawan yang sedang menjalankan tugas dan fungsi jurnalistiknya, mereka sering menjadi sasaran dan target untuk diserang oleh pihak pihak tertentu yang berusaha membatasi demokrasi dan supermasi hukum.
Perkembangan pers sering diistilahkan dengan Fischer dan Merrill sebagai sistem politik di Indonesia. Di Indonesia kebebasan pers telah dituangkan dalam Undang Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
Negara telah menghapus pemberlakuan Surat Izin Penerbitan Usaha Pers (SIUPP) dan menghapus pemberlakuan surat izin penerbitan usaha pers, serta menghapuskan lembaga sensor terhadap pers di Indonesia.
Pers di Indonesia secara nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asa, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun, sebagaimana pasal 3 ayat (1) dan Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang pers.
Dalam sistem liberalisme saat ini di Indonesia walau telah dijamin kebebasan oleh undang undang tidak sedikit wartawan yang kemudian di penjarakan diintimidasi, disiksa bahkan ada yang dibunuh.
Di banyak daerah, wartawan di negeri ini yang melakukan kesalahan adminitrasi diadili di peradilan umum, telah tejadi kriminalisasi terhaap pers. Pers pada kenyataannya tidak lagi bebas diera reformasi.
Para wartawan yang bekerja tanpa pamrih demi menyampaikan informasi kepada masyarakat sering dihadapkan dengan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dan UU ITE yang selalu digunakan sebagai senjata untuk mengbungkam pers di negeri ini.(rel)