DPR Aceh Bentuk Tim Kajian dan Advokasi Isi Perjanjian Damai RI-GAM

Foto: Gedung DPR Aceh (Antara)
Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membentuk tim kajian dan advokasi terhadap Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) dan butir-butir perdamaian antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tim ini dibentuk karena isi perjanjian damai belum dijalankan semuanya.

Tim yang diberi nama Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA Nomor 11 Tahun 2006, berfokus pada aspek kewenangan Aceh dan pendapatan Aceh. Tim ini bekerja sejak Maret lalu dan sudah melakukan penelitian lapangan sejak Mei.

Anggota tim terdiri dari tenaga ahli praktisi dan akademisi dari berbagai Universitas di Aceh seperti Unsyiah, UIN Ar-Raniry dan Unimal. Kajian akademis rencananya dilakukan berdasarkan data sampling yang diperoleh di lapangan, mencakup sembilan kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
"Tim ini akan melakukan pengambilan data melalui wawancara dengan mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan proses pembentukan perjanjian damai MoU Helsinki dan UUPA, serta pakar-pakar hukum tata negara dan keuangan negara baik yang berada di Aceh, Jakarta dan maupun Luar negeri," kata Ketua DPR Aceh Sulaiman dalam konferensi pers di DPR Aceh, Selasa (18/6/2019).


Menurutnya, output yang diinginkan yaitu hasil kajian dalam bentuk naskah akademik, terdiri dari Buku-I tentang Kajian Normatif dan Konseptual MoU Helsinki dan UUPA Nomor 11/2006. Sementara Buku II tentang Implementasi dan Implikasi dari MoU Helsinki dan UUPA 2006 terhadap Perdamaian dan Kesejahteraan bagi Aceh.

"Hasil ini akan menjadi bahan advokasi politik, hukum, sosial dan budaya dalam rangka keberlanjutan perdamaian antara pemerintah dan rakyat Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia," jelas Sulaiman.

"Ini akan menjadi bukti sejarah hasil komitmen penyelesaian konflik Aceh, melalui perjanjian damai antara GAM dengan Pemerintah RI di Helsinki Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu," terangnya.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPRA, Azhari Cagee, mengatakan, setelah 13 tahun perdamaian RI-GAM diteken, butir-butir MoU Hensinki dan UUPA yang sudah berjalan baru yaitu lembaga wali nanggroe, partai lokal dan dana otonomi khusus (Otsus). Khusus untuk dana Otsus akan berakhir pada 2028 mendatang.



Sementara beberapa hal yang belum dijalankan di antaranya masalah bendera, lambang, pembagian hasil minyak dan gas (Migas) 70-30 persen serta batas Aceh.

"Inilah yang mau kita advokasi agar tidak ada kendala-kendala dan kita mengharapkan dengan tuntasnya MoU dan UUPA berjalan sebagaimana mestinya sesuai komitmen. Kita tidak ingin ada riak-riak lagi di Aceh terhadap perdamaian," jelas Azhari.

"Dalam MoU kan tidak disebutkan hasil perdamaian untuk dana Otsus dan partai lokal, tapi untuk menyelesaikan seluruh permasalahan konflik dan untuk menenggelamkan benih-benih konflik," terang Azhari.


Menurutnya, untuk merealisasikan isi perdamaian, pemerintah pusat sudah membuat Undang-undang (UU) yaitu UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. UU itu, sebut Azhari seharusnya dijalankan secara tuntas.

"Kalau tidak mereka jalankan itu sama saja pelanggaran terhadap UU yang mereka buat sendiri. Itu melanggar konstitusi," ungkapnya

Post a Comment

0 Comments