Guyana kini berpotensi mengalami "oil boom" yang amat mungkin membuat negeri kecil itu menjadi negeri terkaya di kawasan tersebut.
"Banyak orang yang belum mengetahui seberapa besar potensinya," kata mantan Dubes AS untuk Guyana Perry Holloway akhir tahun lalu.
"Pada 2025, GDP (Guyana) akan naik menjadi 300 persen lalu 1.000 persen. Ini amat besar. Guyana akan menjadi negara terkaya di belahan dunia ini dan berpotensi jadi terkaya di dunia," kata Holloway.
Pernyataan itu terlihat terlalu ambisius, tetapi dengan penduduk hanya 750.000 jiwa, kekayaan Guyana pasti meroket jika dihitung pendapatan per kapita.
ExxonMobile, perusahaan minyak utama di Guyana, mengatakan telah menemukan lebih dari 5,5 miliar barel minyak di perairan negeri itu.
Uang sebanyak itu tentu akan diterima dengan tangan terbuka.
Apalagi, satu-satunya negeri Amerika Selatan yang berbahasa Inggris ini memiliki tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi.
Namun, Guyana harus belajar dari sejarah.
Penemuan cadangan minyak yang amat besar di negara-negara berkembang justru bisa menjadi bencana.
Uang hasil penjualan minyak bisa memicu korupsi yang berujung pencurian uang negara hasil eksplorasi minyak.
Kondisi semacam ini biasa dikenal dengan istilah "kutukan minyak".
"Di Guyana, korupsi terjadi amat besar-besaran," kata Troy Thomas, kepala Transparansi Internasional setempat.
Thomas menambahkan, dirinya amat khawatir "kutukan minyak" terjadi pada negerinya.
Tanda-tanda adanya kutukan itu sudah muncul dengan terjadinya krisis politik di Guyana dalam beberapa bulan terakhir ini.
Setelah koalisi pemerintahan mendapatkan mosi tidak percaya pada Desember lalu, mereka justru menggugat ke pengadilan, bukannya menggelar pemilihan umum.
Langkah ini memicu protes masyarakat.
"Apa yang kami minta adalah pemerintah menghormati konstitusi. Pemerintah hanya ingin tetap berkuasa dan mengendalikan uang minyak," ujar seorang pengunjuk rasa.
Pertarungan legal masih berlanjut dan pekan ini Pengadilan Karibia mulai menyidangkan masalah ini.
"Kami sudah melihat hal semacam ini di negara-negara lain," kata Vincent Adams, kepala Badan Perlindungan Lingkungan Guyana
"Negara-negara itu mendapatkan kekayaan dari minyak dan hari ini kondisi mereka lebih buruk sebelum mendapatkan minyak," kata Adams.
Bagi Adams, satu-satunya cara untuk menghindari "kutukan minyak" adalah pendidikan.
"Pendidikan adalah dasarnya. Pendidikan adalah investasi terbaik di negara ini dan negara lainnya," kata Adams.
Adams kini memimpin perombakan fakultas teknik di Universitas Guyana, institusi pendidikan tertinggi di negeri itu.
Namun, mempersiapkan generasi muda Guyana menghadapi industri baru penuh uang ini bukan hal yang mudah.
"Sayangnya, saat ini kami belum memiliki laboratorium teknik perminyakan," kata Elena Trim, dekan fakultas teknik.
Tantangan lain adalah menarik para pemuda berbakat yang memiliki keahlian yang relevan.
"Standar gaji di negeri ini tak terlalu tinggi. Jadi banyak yang melamar kerja di Universitas Guyana dan saat mengetahui besaran gaji, mereka mundur," Elena sambil tertawa.
Tak hanya itu, Elena menambahkan, di tahap awal industri minyak Guyana sudah mengambil para lulusan fakultas teknik dari jurusan lain untuk dipekerjakan.
"Dua tahun lalu 10 lulusan diberi pekerjaan. Tahun lalu, perusahaan yang sama meminta 20 orang," kata Elena.
Ironisme lain dari "oil boom" ini terlihat di Sophia, salah satu permukiman termiskin di Georgetown, ibu kota Guyana.
Sebagian warga tinggal di rumah ala kadarnya buatan sendiri dan belum lama bisa menikmati listrik serta air bersih.
"Sejujurnya, penduduk komunitas ini hampir mencapai 10 persen warga kota. Namun, tak sampai 10 persen sumber daya kota sampai di sini," kata Colin Marks, tokoh masyarakat setempat.
Keterangan Colin ini menunjukkan betapa skeptisnya warga Guyana terhadap keuntungan dari industri minyak.
"Sebagian besar warga amat sensitif soal ini. Sebab, lebih banyak dampak negatifnya ketimbang keuntungannya bagi Guyana," ujar Colin.
"Dan ini sudah terjadi di level politik. Kita semua mendengar apa yang terjadi di Guinea, Nigeria, atau tetangga kami, Venezuela. Jadi masyarakat amat sensitif," kata dia.
"Di masyarakat akar rumput, rakyat hanya ingin tahu jika minyak menghasilkan uang, rakyat ingin mendapat bagian. Kami ingin menikmati keuntungan dari minyak," Colin menegaskan. (*)