IMPIANNEWS.COM – Sikap membela mati-matian Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dilakukan Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, menjadi sorotan banyak pihak dari berbagai kalangan.
Kali ini, sorotan itu datang dari Prof Ryaas Rasyid. Bahkan, Pakar Ilmu Pemerintahan ini mempertanyakan sikap dari tim pasangan calon nomor pemilihan 01 yang membela KPU bagaikan bagian dari keluarga besarnya.
“Mencermati semakin luasnya indikasi dan bukti permainan (kecurangan?) di KPU, saya jadi mikir, kalau emang dari awal ada rencana tim 01 atau Istana main di KPU,” kata Prof Ryaas dalam keterangan yang diterima redaksi, senin (29/4/19).
Menurutnya, jika memang tim 01 ingin ‘main’, maka seharusnya membuat rencana yang matang, dengan antisipasi segala kemungkinan risiko yang akan dihadapi.
Misalnya, lanjut Prof Ryaas, buat pengkondisian dari awal dengan ikut mengkritisi masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang nggak jelas. Kemudian, masalah orang gila memilih, masalah salah hitung dalam input data dan sebagainya.
“Bukankah logikanya semua peserta pilpres dan pileg berkepentingan dengan KPU yang jujur dan profesional? Tapi apa yang terjadi, adalah tim 01 malah jadi pembela KPU secara mati-matian setiap kali dikritisi, terutama oleh tim 02,” kata Prof Ryaas.
“Lihat saja bagaimana mereka berbusa-busa menilai kritik ke KPU sebagai upaya delegitimasi. Lho kalau KPU mengalami delegitimasi, kan pasangan 02 juga akan dirugikan. Kemenangannya akan tidak sah.”
Bila dilihat dari sikap mati-matian membela KPU itu, maka timbul kecurigaan kenapa kubu 01 sangat konsisten menjadikan KPU sebagai pihak yang suci dari semua kemungkinan menyalah gunakan kewenangan, atau disalah gunakan oleh tim capres, atau elit parpol mana pun.
“Puncak dari kurangnya pengkondisian (kalau memang ada rencana permainan) adalah penolakan Jokowi terhadap usul agar mengambil cuti. Walau tidak diperintahkan UU, tapi demi pengkondisian permainan (sekali lagi kalau memang ada rencana itu) kan bisa menarik simpati masyarakat kalau berinisiatif sendiri minta cuti,” kata Prof Ryaas.
Dikatakan Prof Ryaas, cara kamuflase dengan cuti atau non-aktif selama kampanye sampai usainya penghitungan di KPU, sesungguhnya bisa efektif dijadikan alasan menolak tuduhan curang. Karena, tanggungjawab dan otoritas ada pada Wakil Presiden sebagai acting presiden.
“Bukankah JK (Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI saat ini) bisa bermain lebih halus kalau memang diikutkan dalam rencana permainan di KPU? Dengan begitu Jokowi bisa mengelak dari tuduhan intervensi KPU. Bisa cuci tangan. Sekarang dengan dia (Jokowi) nggak mundur, mudah banget dicurigai dan dituduh gunakan kekuasaan untuk tekan KPU,” kata Prof Ryaas.
Akan tetapi, dirinya menilai semua sudah terlambat, jika memang menolak untuk dituduh curang. “Tentu saja sekarang semua ini sudah terlambat.” [ipk]