Dalam operasi uji coba itu, Kim mengatakan bahwa senjata terbaru ini merupakan salah satu perkembangan "yang paling signifikan dalam kekuatan tempur Tentara Rakyat." |
Kim Jong-un memimpin langsung uji coba senjata taktis tipe baru produksi Korea Utara pada Kamis (18/4) pagi.
Dalam operasi uji coba itu, Kim mengatakan bahwa senjata terbaru ini merupakan salah satu perkembangan "yang paling signifikan dalam kekuatan tempur Tentara Rakyat."
Kantor berita Korut, KCNA, melaporkan bahwa uji coba ini dilakukan dengan beberapa mode tembakan ke arah target-target berbeda.
"Senjata ini merupakan mode termutakhir dari penerbangan pemandu dengan hulu ledak yang paling kuat," demikian pernyataan pemerintah Korut yang dilansir kantor berita KCNA.
Uji coba ini diumumkan tak lama setelah lembaga Center for Strategic and International Studies (CSIS) melaporkan indikasi kegiatan di situs nuklir utama Korut.
CSIS menduga Korut kembali memproses material radioaktif menjadi bom bahan bakar sejak Februari lalu, setelah pertemuan antara Kim dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berakhir tanpa kesepakatan apa pun.
Dalam konferensi pers setelah pertemuan di Hanoi tersebut, Trump membeberkan bahwa AS sebenarnya sudah menyiapkan satu dokumen kesepakatan yang dapat ditandatangani usai konferensi tingkat tinggi dengan Kim.
Menurut Trump, Kim menawarkan menutup sejumlah situs peluncuran rudal dan kompleks nuklir dengan timbal balik AS mencabut sanksi atas Korut.
Sementara itu, Trump ingin Korut melucuti senjata nuklir secara keseluruhan, baru AS dapat mencabut sanksi atas negara pimpinan Kim tersebut.
Di akhir pertemuan, Trump memilih untuk tak meneken dokumen apa pun karena tidak mencapai kesepakatan mengenai denuklirisasi.
Sejak saat itu, Korut terus berupaya menutup jalur diplomasi dengan AS. Namun, Kim akhirnya menyatakan bersedia berunding kembali dengan Trump jika AS datang dengan "sikap yang layak."
"Kim mencoba membuat pernyataan kepada pemerintahan Trump bahwa militernya berpotensi terus berkembang dari hari ke hari," ujar analis dari Pusat Kepentingan Nasional, Harry Kazianis.
Menutup pernyataannya, Kazianis berkata, "Rezimnya mulai frustrasi dengan sikap tidak fleksibel Washington dalam bernegosiasi." (has)