Beberapa tahun belakangan, keberadaan burung kuntul di Kota Batusangkar menjadi polemik. Banyaknya populasi burung menyebabkan terganggunya masyarakat dengan kotoran dan bau. Di sisi lain, burung kuntul tidak boleh diganggu karena berada dalam kawasan Cagar Alam Baringin Sakti. Ternyata keberadaan Burung Kuntul juga menyimpan potensi besar yang bisa menjadi keunggulan Tanah Datar.
Hal di atas dibahas dalam Diskusi Pagi di Pasar Van Der Capellen, Kota Batusangkar, Minggu 3 Maret 2019. Kegiatan yang dipandu oleh Direktur Walhi, Uslaini itu menghadirkan pembicara akademisi Universitas Andalas, Wilson Novarino, Camat Limo Kaum Afrizal, Kepala Perwakilan kabarsumbar.com, Aldoris, dan Direktur PBHI Sumbar Wengki Purwanto.
Di awal diskusi, Camat Limo Kaum yang akrab dipanggil ayah memaparkan, aroma kotoran burung bangau menganggu kenyamanan dari aroma dan kotoran yang jatuh. Dikhawatirkan akan membawa virus flu burung karena tidak bisa kita kontrol jumlah populasi dan keberadaannya.
Kotoran burung bangau mengotori lingkungan dan mobil yg parkir dibawah pohon. “Jadi malu kita sama pengunjung kota yang tidak tahu di atas beringin ada burung bangau,” ujar pria murah senyum ini.
Di sisi lain, kaya Ayah, masyarakat seputaran Batusangkar khususnya di Kecamatan Sungai Tarab dan Sungayang tidak bisa lagi melakukan minapadi dengan melepas bibit ikan ke sawah. Sebab petani khawatir ikannya dimakan oleh bangau.
Sedangkan Aldoris, perwakilan kabarsumbar.com di Tanah Datar yang tinggal di kawasan Baringin menceritakan, dia dan keluarganya tinggal di sekitar habitat burung bangau, dan merasa sangat terganggu dengan keberadaan burung kuntul tersebut.
“Tahun 2014 anak saya terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) hingga meninggal dunia. Saya menduga polusi yang disebabkan bangau ini salah satu pemicunya. Kalau memang burung kuntul ini tidak boleh diganggu, pihak terkait harusnya mencarikan solusi bagaimana burung ini bisa tetap terlindungi, namun juga tidak mengganggu masyarakat,” ujarnya.
Akademisi Unand, Wilson Novarino menceritakan, tahun 1993 saat dia melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Tanah Datar, setiap Minggu dirinya berkumpul bersama teman-teman di kawasan Cagar Alam Baringin Sakti. “Belum ada ada burung kuntul di sana. Tahun 2008 saat saya kembali lagi setelah pulang sekolah diluar sudah ada burung kuntul disana,” ujar doktor di bidang Biologi itu.
Namun, Wilson memaparkan, Selain dampak buruk juga ada potensi di kawasan Cagar Alam Baringin Sakti. Salah satunya seperti di Ketingan jogja dan di Sorondol di Surabaya. Kawasan di atas saat ini diubah sebagai destinasi wisata.
Juga ada simbiosis mutualisme antara petani dengan burung kuntul. Dimana justru burung kuntul menjadi sahabat petani. Sebab, jika petani membajak sawah, maka burung kuntul akan datang memakan hama dan serangga yang akan menganggu tanaman petani. “Baru sekarang burung kuntul dianggap hama,” ujar doktor jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Dia memaparkan, perubahan standar itu tidak hanya dialami oleh burung kuntul, dulu harimau juga begitu. Dia diagungkan oleh masyarakat Minangkabau. Jika ada pesilat mau lulus belajar silat dia harus melawan harimau dulu sehingga dia mendapat jurus Silek Harimau tapi sekarang Harimau dianggap hama.
“Filosofi kita dari alam takambang jadi guru, perlu kita lihat lagi. Pasti ada manfaat baik dari keberadaan burung kuntul di Batusangkar,” ulasnya.
“Soal Cagar Alam Beringin Sakti, kenapa dia ditetapkan sebagai Cagar Alam, tentu ada sesuatu yang menjadi dasarnya. Jika melihat jenis baringinnya, jenisnya sama dengan jenis baringin lainnya. Tanah Datar sebagai Luhak Nan Tuo meyakini bahwa pohon Baringin Sakti itu ada Tungkek Datuk Parpatih Nan Sabatang. Jika Baringin Sakti itu punya nilai budaya sebesar itu semestinya harus kita jaga dan lindungi Bersama,” imbuhnya.
Sementara Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumbar, Wengki Purwanto mengkaji dari segi perundang-undangan. Menurutnya, Dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Disana jelas bahwa tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat.
“Selain itu saat ini Indonesia menganut prinsip pembangunan SDGs atau tujuan pembangunan berkelanjutan, dimana yang diatur di sana termasuk soal keberlanjutan sumberdaya alam hayati kita,” ulas pria asal Lintau ini.
Menurutnya, perlu kita pahami bahwa UU itu dibuat oleh manusia untuk kepentingan manusia dan jika disana juga diatur soal makhluk lainnya tentu mempertimbangkan kepentingan manusia, tidak hanya hari ini tapi juga manusia dimasa mendatang.
Kata dia, masyarakat mesti memahami bahwa Kawasan Suaka Alam atau Cagar Alam sebagai tempat perlindungan. Lalu terkait dengan spesies yang dilindungi kita bisa melihat PP No 7 Tahun 1999 tentang spesies yang dilindungi dimana bangau putih, bungau hitam, kuntul karang dan bangau putih susu masuk kedalam list spesies yang dilindungi.
Artinya jika ada aktifitas membunuh, menyakiti, menjual bisa dipidana 5 tahun penjara atau denda 100 juta, kalau lalai melindungi maka pidana 1 tahun dan denda 50 juta. Karena hal ini penting dilakukan edukasi kepada masyarakat terkait dengan peraturan perundang-undangan yang ada sehingga masyarakat kita paham dan tidak melanggar undang - undang.
Namun, menurut Wengki UU yang ada juga tidak melakukan pembatasan mutlak, Ada pengecualian dalam UU tersebut, kita lihat pasal 22 jika keberadaan binatang dilindungi itu mengancam kehidupan manusia, maka boleh dibunuh. Sekarang kita perlu melihat sejauh mana keberadaan burung kuntul ini mengganggu dan memgancam nyawa manusia disekitarnya sehingga berlaku pengecualian itu.
Wilson Novarino menawarkan kepada Pemkab Tanah Datar agar menggarap burung kuntul ini sebagai salah satu destinasi wisata. Bagaimana kita mendapatkan benefit dari kuntul yang sudah ada di Kota Batusangkar jika kita ingin manfaat ekonomi kita perlu pikirkan strateginya.
“Jika CA Baringin Sakti ini ditetapkan sejak tahun 1921, kita bisa buat Event 1 abad CA Baringin Sakti dimana kegiatannya pengamatan burung kuntul, oramg datang bayar untuk memotret dan mengamati burung, wisatawan akan bermalam di sini untuk mengamati burung, bisa sewakan teropong pengamatan burung, bisa jadi ajang edukasi soal burung dan lingkungan pada pelajar dan setiap yang datang dapat souvenir berupa replika burung kuntul dari kayu seperti koin pasar van der capellen atau bikin kaos dan stiker burung kuntul. Manfaat ekonominya akan dirasakan oleh masyarakat, kabupaten dan pedagang,” ulasnya.
Tanah Datar harusnya bersyukur, sebab ada kabupaten/kota lain bersusah payah ingin mendatangkan burung, namun tidak bisa. Contoh, Pemko Solok ingin mengembangkan Pulau Belibis sebagai salah satu ikon wisata namun sayangnya saat ini tidak ada satu ekor pun belibis di sana. untuk mengembalikan belibis ke pulau belibis Pemkab Ssolok memperkerjakan ahli untuk melakukan upaya untuk memancing belibis untuk datang.
“Sekarang kami juga bekerja dengan Pemerintah Kota Pariaman untuk merancang kota yang ramah burung yang akan dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata. Mestinya Tanah Datar bisa berbangga karena tanpa sewa konsultan dan ahli, kota ini sudah ramah Burung,” ulasnya.
Menyikapi banyaknya ide dan masukan dalam diskusi tersebut, pihak terkait sepakat melaksanakan diskusi lanjutan dengan melibatkan stakeholders yang lebih lengkap. Selain menghadirkan pakar dan pengambil kebjakan, juga akan dihadirkan masyarakat dan mahasiswa penelitian akan diundang sehingga bisa jadi bahan rekomendasi bersama.
Setelah hasil temu warga, penggalangan pendapat akan dilanjutkan dengan rapat koordinasi dengan Pemkab Tanah Datar untuk membahas kelanjutan polemik burung kuntul ini, apakah akan dilakukan upaya-upaya untuk memindahkan burung kuntul atau akan dikemas untuk bisa memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat Tanah Datar.
(Humas Pasar Van Der Capellen)