Sanhaji Harahap - 2019 |
IMPIANNEWS.COM
Malam itu saya lagi asyik nongkrong di
warung tetangga sebelah, ngak jauh kediamannya dekat kantor
Let’s Go
di tempat saya bekerja dan saya sangat penasaran gimana rasanya minum kopi
hitam, Lama - lama
rasa pengen tau timbul dalam benak saya, dan
saya memberani kan diri meminta kopi kepada Bapak
Endry Bahar, salah
satu karyawan di tempat saya bekerja dan rasanya pun agak canggung meminum
kopi hitam tiada rasanya. Dan Pak Endry
pun dengan bersenang hati memberikan sebagain kopi sama saya. Karna penasaran
kopi dibagi menjadi dua bagian dan rasanya tidak bisa dibayangkan lagi sungguh
mengecewakan rupa kopi idaman para kaum adam ternyata ngak enak dibandingkan
dengan perasaaanku saat mendapatkan “Nilai A” pada mata kuliah statistic
bersama Buk Dina yang kiler, rupa kopi hitam rasa pahit..
Ngak bisa dibayangkan lagi dengan kata-kata uap
tebal yang menyembul dari cangkir tebal berisikan cairan hitam pekat, menyeruak
menabrak dinding-dinding wajahku dan terakhir menyentuh hidungku dengan aroma
khas kopi sebuah kafe.
Tanganku mengangkat cangkir
tersebut dan merasakan rasa hangat menjalari setiap kerongkonganku. Aku
meletakkan kembali cangkir tersebut dan menatap seorang gadis berwajah manis
dengan lesung pipit dan berkaca mata kotak model terbaru. Rambutnya hitam legam
menjumbai ke bawah bahu. Pipinya bersemu merah saat melirikku dan kembali
tertunduk dengan senyum manis menghiasi bibirnya yang merah muda. “Lalu bagaimana kalian bisa
bertemu?” aku menatap gadis itu lama. Namanya Yasni.
Gadis penjaga
warung itu mendongak dan mengerutkan
alis. Kira-kira mengingat apa yang terjadi di masa lalu. Mata coklatnya yang tajam kembali
memandangku dan menghembuskan nafas panjang sebelum bercerita. Dia memaksakan
senyum tipis di bibirnya yang terlihat palsu.
“Semuanya
bermula saat hari pertama aku mengikuti eskul jurnalis.
Saat itu aku terlambat. Aku takut sekali. Karena ini memang ekstra pertamaku.
Sebagai junior yang masih normal, aku masih punya rasa ngeri pada kakak-kakak senior.
Jika orientasi sekolah perploncoan dihapus, belum tentu dalam ekstra juga kan?”
aku mengangguk singkat sebegai jawaban. Flora menghembuskan nafas dalam-dalam
dan memandang jendela besar kafe yang langsung terpapar warna-warni lampu kota.
Aku
benar-benar panik karena dari kejauhan, kelas XI-MIA6 sudah penuh anak-anak
baru yang sama denganku. Tak disangka, ditengah kepanikanku, seseorang
mengarahkan lensanya padaku dan mengabadikan keterlambatanku. Aku tak peduli
dan masuk ke dalam kelas. Rupanya aku masih belum terlambat. Bahkan kakak-kakak
senior memaklumi keterlamabatanku, karena ini masih pertama. Aku hanya
tersenyum lega dan kembali mengingat pemuda asing tadi.
Dia memotretku tanpa alasan. Pikiranku jadi melayang kemana-mana. Bagaimana
kalau fotoku akan diapa-apakan? Bagaimana kalau pemuda tadi orang jahat ? . Bagaimana kalau dia berniat buruk dan aku bisa celaka?
Tapi itu hanya pikiran konyol seorang junior yang baru masuk SMA. Pemuda itu
ternyata kakak senior. Wajahku memerah malu saat kakak itu memperkenalkan diri
di kelas. Namanya Osey Kahlan. Nama yang aneh.”
Flora tersenyum kecil mengingat-ingat kejadian
dulu. Tapi sedetik, wajahnya berubah muram. Ia menyeruput kopinya yang mulai
mendingin dan terdiam sejenak. Meresapi setiap inti cairan yang masuk ke tenggorokannya.“Semakin lama dilihat, kakak itu semakin
manis saja. Dari situlah aku menyukainya. Setiap ada pertemuan eskul Jurnalis,
aku selalu bersemangat.
Entah
kenapa, hanya dengan memandangnya saja aku sudah puas. Tapi lama kelamaan, aku
tak mau hanya memandanginya saja. Aku tak mau menjadi gadis bodoh yang
memngaguminya diam-diam. Bagaimanapun aku harus bisa dekat dengan kakak itu.
Aku harus bisa menjadi akrab dengannya. Yah, setidaknya begitu.” Flora kembali
menyeruput kopinya dan menyisahkan separuh dari cangkir tersebut.
Tangannya mengetuk-ketuk meja kafe dengan
gusar. Ia kembali melanjutkan cerita, “dari sana aku bertemu Ola. Dia gadis
yang baik menurutku. Dia bahkan mau aku berbagi apapun dengannya. Singkat
cerita, kami bersahabat akrab. Aku menceritakan segalanya. Bahkan tentang
perasaanku pada Kak Osey sekalipun. Dia bahkan berjanji akan membuatku lebih
dekat dengan Kak Osey. Tentu saja aku senang. Ola memang sahabat yang baik.
Kira-kira itu pemikiranku saat pertama dulu.”“Tapi kebaikan Ola di depanku itu
hanya kebusukannya untuk lebih leluasa mendekati Kak Osey.
Dia
tak benar-benar membantuku. Dia hanya menceritakanku sekilas saja jika dia
bertemu dengan Kak Osey atau berkesempatan mengobrol berdua dengannya. Sampai
aku menyadari ketika Ola mulai menjauhiku tanpa alasan. Dia tak mau berbicara
denganku. Jangankan mengobrol, mentapku saja dia seperti enggan. Tentu saja aku
sedih. Aku bahkan tak mengerti alasan Ola menjauhiku. Hingga kedoknya
benar-benar terbongkar saat berita heboh sampai di telingaku. Aku bahkan sampai
ingat bagaimana perasaanku saat mendengar kabar itu.
Kabar
Ola dan Kak Osey jadian. Aku benar-benar terpukul. Dan aku mengerti, Ola
menjauhiku memang karena dia tak mau aku mengetahui hubungannya yang sudah
jauh. Tega sekali mengkhianati sahabatnya sendiri.” Aku kembali menyeruput
kopiku dan menyisakan ampasnya saja. Aku menyalakan laptopku yang sedari tadi
aku bawa tanpa kusentuh.“Setelah itu, aku tidak tahu lagi
bagaimana kelanjutan mereka. Aku tak mau tahu dan tak ingin tahu. Dan aku
sekarang lebih mengerti dan berhati-hati.
Seorang
lawan yang ‘hanya’ kelihatan baik benar-benar bukan orang yang seperti
diharapkan. Ternyata dia pengkhianat ulung.” Flora tak lagi menatapku dengan
ekspresi kesalnya. Dia sudah lebih dulu membuang tatapannya menerawang jauh ke
luar jendela. Lagi. Aku menghembuskan nafas lega. Tanganku sudah lebih dulu
bergerak-gerak lincah di keyboard laptop. Dari sini aku menemukan bintangku,
entah kenapa cahaya terang itu datang dengan bersinar cerah, yang sudah beberapa
hari ini menghilang. Writer block lah tepatnya.
Aku menatap layar laptopku lama dan tersenyum
simpul melihat tulisan di atas kertas Microsoft Word. “Cinta Dalam Secangkir
Kopi”.
Ini rasa yang aku sembunyikan selama tiga tahun. Waktu sebelum
panitia wisuda memanggil namaku sebagai mahasiswi dengan IPK terbaik. Waktu
sebelum kamu menarik tanganku, dan mengajakku bercumbu dengan hujan. Waktu
sebelum Kedai Arch menjadi tempat terakhir kita bertukar pikiran.“Selamat atas
keberhasilan yang selalu kamu impikan.” Bungkusan kado kamu suguhkan kepadaku.
Entah apa isinya, tidak segera aku buka. Kita masih dalam status terlarang.
“Terima kasih, semua juga berkat kerja sama kita.” Ucapku dengan senyuman
sederhana yang tidak lagi asing.
Antara aku dan kamu. Antara malam ini dan malam kemarin. Ada rasa
yang berbeda, setelah hujan siang tadi. Setelah aku sampaikan perasaan
tertahanku selama tiga tahun. Semuanya berubah, bahkan malam ini. Malam yang
sama seperti malam kemarin, memiliki rasa yang berbeda. Aku, menganggapmu tidak
lebih dari Adik yang tersayang.” Tangan besar itu menghangatkan dingin di
antara jemariku. Ada sesak yang tidak tertahan juga tidak berair mata. Ada apa ? Aku salah jika menyatakan cinta? Bukankah ini fitrah manusia untuk
jatuh cinta ?
“Iya aku tahu. Ini adalah keberanian terbodoh yang pernah aku
lakukan. Waktu yang tidak tepat.” Jawabku menahan sesak dengan tetap tersenyum.
Menyembunyikan kesakitan terdalam.
“Bukan, Waktu yang belum siap.” Kamu
menyanggah pernyataanku. Kenapa ? Apakah kamu juga mengharapkan waktu siap dengan kisah ini ? Sama saja. Setelah ini, aku tidak
akan seberani itu lagi. Mengharap tanpa diharapkan.” Jawabku melepaskan ikatan
erat jemarimu. Terima kasih bimbingan satu tahun pertama dan semangat dua tahun
berikutnya
Aku akan pergi jauh, untuk waktu yang lama. Namun aku pasti
kembali, karena ini adalah tempat yang menjadikan aku awal dari kebahagiaan.
Termasuk kamu dan ikatan batas yang tidak bisa kita lampaui. “Percayalah.
Jangan rubah apa yang kamu miliki. Meski setelah malam ini, semuanya akan
berbeda.” Wajahmu penuh nasihat. Tidak seperti biasa, sikap konyol dan
menyebalkan itu hilang dalam keseriusan yang tidak aku harapkan. Selain
perasaanmu kan ?” Dan udara semakin dingin. Kakiku
berteriak untuk beranjak. Entah mengapa mata ini masih saja ingin melihatmu.
Untuk yang terakhir. Itu, aku tidak bisa menjamin.” Kembali tanganmu meraih
jemari dinginku. Aku malu dengan diriku. Aku malu telah berani mengharapkanmu.
Aku malu telah menyatakan hal yang tidak kamu miliki rasanya. Aku malu telah
jatuh cinta kepada sosok yang hanya sebatas penyemangat.
Bisa bilang cinta?”
tanyaku. Menatap matanya. Menelusup dalam jiwa yang saling bertukar aura. Bisa,
tetapi tidak untuk waktu ini. Ada batas yang tidak bisa kita lampaui.” Apakah
usia yang menjadi penghalang ketidaksiapan waktu? Enam tahun itu tidak jauh.
Dan aku terbiasa dengan perasaan yang aku sebut cinta, berbatas usia. Haruskah
aku mengatakan untuk yang kedua kalinya? Ah, rasanya aku mati dalam keadaan
yang menghukum keberanianku. Ada apa? Salahkah aku berani mengharapkan cintamu,
Sir ?. Hanya status
antara mahasiswi dan dosennya. Aku masih saja bergurau tentang perasaan.
Sudah tahu tidak mungkin.” Ku lepas genggaman hangatmu untuk yang
kedua. Ada rasa lega setelah itu. Aku akan sangat mengerti. Dan lebih dari
paham. Bagaimana bisa aku memberanikan diri mencintaimu. Sedangkan kamu sedang
memberanikan diri membatasi cinta yang ada padamu. Kita pasti bisa. Kamu pasti
bisa.” Suara beratmu menelusup ke dalam ingatan Padahal aku seorang makhluk
langka yang tidak bisa mengingat hal dalam jangka pendek. Namun untuk suara
terakhirmu. Aku selalu ingat, sampai pada aroma kopi yang akan mengantarkan
perasaan kita nanti.
“Setidaknya sepuluh tahun ke depan tempat ini masih ada. Agar aku
bisa merasakan perubahan dari perasaanku, dan juga kamu.” Langkahku tegas meninggalkan kebersamaan dalam diorama kelas bahasa selama satu
tahun. Dalam kebersamaan kerja selama tiga tahun dan keberanian pengharapan
yang sudah aku lepas. Meski perasaan ini masih tetap sama, pada jalan yang
telah berbeda. Akankah cinta itu bisa berubah dalam waktu sesingkat sepuluh
tahun ?. Bisakah waktu bersiap
mempertemukan kita lagi ? Entahlah, Cinta ini terlalu lemah untuk
disetarakan dengan waktu. Dan kembali dalam dialog sederhana aku bertanya,
bolehkan aku bertahan dalam pengharapan ini ? .
Secangkir kopi, teman yang selalu setia menemani setiap malam.
Rasanya memang tidaklah nikmat jika nongkrong bersama saat malam tanpa ditemani
secangkir kopi. Ada yang bilang “Di dalam sebuah rasa kopi terkandung sebuah
perasaan nikmat yang dapat dirasakan setelah bekerja seharian.”. Tapi pernahkah
kamu merasakan kopi tanpa ada sesuatu yang kamu kerjakan hari itu? Hanya rasa
kopi saja yang kamu rasakan tanpa adanya makna mendalam yang kamu dapat
pikirkan.
Di depan sebuah rumah tua, didampingi riasan bintang-bintang. Aku
bersama temanku menongkrong di tempat sunyi nan sepi, yang kami sebut rumah.
Walau pada dasarnya, rumah itu bukan milik kami. Di dalam malam-malam yang
sepi, aku selalu menuang secangkir kopi untukku dan temanku tanpa adanya
tambahan gula yang terasa seperti hidup kami.
Bekerja… Bekerja… dan Bekerja. Kata yang pantas bagi kami yang
selalu menahan lapar sampai hari gajian nanti. Memang takdir tidaklah selalu
sama. Bagi kami, para pemalas yang tidak peduli akan masa depan kami. Di dalam
kelamnya masa muda yang kami hancurkan untuk keegoisan kami, Bagaikan minum
kopi manis yang telah memanjakan kami dan menyisahkan rasa pahit. Terombang
ambing di derasnya alur kehidupan, sementara yang kami lakukan hanya berpacaran
dan berjudi adalah hal yang memang pantas untuk disesali.
Tapi mengapa kita hanya menginginkan kenikmatan ? Bukankah hal terbaik itu tenang ? Tapi kita malah senang merampas
hak-hak orang lain dan mementingkan keegoisan sendiri ?”
Diriku sendiri juga berpikir di bawah cahaya rembulan sambil
ditemani secangkir kopi. Melalui pandangan tajam, aku tatap sang rembulan dan
terus bertanya-tanya. “Apa kita dilahirkan hanya untuk merasakan kenikmatan
saja ? Terus apa yang akan aku lakukan
jika sudah seperti ini ? Mengapa hal buruk ini selalu terjadi ?”. Di dalam dunia yang fana ini memang pantas kita terus dilanda
kebingungan. “Kemana tujuan kita ?” adalah hal yang lumrah di dunia ini. Tapi pada siapa kita
mengadukan hal ini ? Pertanyaan yang sangat sulit
dijawab tapi memang selalu ada orang yang mengerti. Semua hal-hal itu membuat
kepalaku mendidih, lebih baik kesampingkan hal itu dengan secangkir kopi di
genggamanku. Di bawah sinar bulan aku mengatakan kesukaanku sekarang.
Aku lebih suka kopi pahit daripada kopi manis, karena ini adalah
hidupku!”Rasa tersakiti, rasa dibenci, dan rasa tidak peduli adalah perasaan yang aku dapat dari masa laluku. Bahkan temanku sendiri tidak menghiraukan ucapanku, oleh karena itu aku lebih memilih kopi pahit. Walau selama ini aku suka kopi manis, rasa nikmat yang langsung didapat tanpa adanya rasa pahit diawal. Tapi manis yang kumau sekarang adalah manis yang aku dapat setelah rasa pahit. Oleh karena itu aku sekarang menyukai kopi pahit, Berhenti mengeluh pada kehidupan dan mulai menerima kemudian menikmatinya. Lagi pula kopi pahit pada akhirnya juga akan menjadi manis.(ul)
Sanhaji Harahap |