Bak petir di siang bolong, Chairman Lippo Group James Riady secara tidak diduga mengakui belum mengantungi izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Bahkan James seolah bersalah dan menyatakan permintaan maaf di tengah deru pembangunan dan pemasaran proyek Meikarta yang tak pernah berhenti.
“Mohon maaf kalau ada kekurangan, semua akan dilengkapi. Fokusnya adalah bagaimana memikirkan 11 juta defisit rumah (angka backlog 7,6 juta, red),” ujar James kepada awak media usai talkshow BTN Golden Property Awards di Hotel Raffles Jakarta, Senin (11/9).
Dia berharap seluruh pihak baik pemerintah maupun masyarakat menyadari bahwa masalah yang sebenarnya dihadapi adalah terkait kebutuhan dasar akan perumahan.
Dia pun mencontohkan hunian di Meikarta yang harganya sekitar Rp7 juta per meter persegi. Dengan nilai jual per unit mulai Rp120 juta, seharusnya harga ini bisa dijangkau para pekerja khususnya masyarakat berpenghasilan rendah
Tentu saja pernyataan James ini sebuah pengakuan yang jujur sekaligus mengklarifikasi ketidakjelasan izin proyek Meikarta selama ini. Di satu pihak ada yang mengatakan proyek itu ilegal karena belum mengantungi Amdal maupun IMB. Di sisi lain iklan Meikarta gencar di sejumlah media cetak mainstream setiap hari 5 halaman full colour.
Belum lagi di sejumlah televisi iklan Meikarta tak pernah henti, ditambah iklan di media online, baliho-baliho, marketingnya begitu agresif di sejumlah mall. Kabarnya sampai akhir tahun 2017 dana untuk iklan itu sudah disediakan sebesar Rp2,7 triliun.
Lippo Group si empunya proyek raksasa itu begitu percaya diri dan royal. Karena disinyalir pengembang raksasa itu sudah mengantungi dana tunai sebesar Rp278 triliun untuk pengembangan proyek seluas 500 hektare tersebut.
Disemprit Ombudsman
Mengapa tetiba James menyampaikan permintaan maaf atas perizinan Meikarta yang belum rampung? Bukan kah sebelumnya Lippo Group dengan gagah perkasa tak mengacuhkan permintaah Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar agar proyek itu dihentikan sampai perizinan rampung?
Setiap himbauan, larangan, perintah penghentian seperti diacuhkan Lippo Group. Bak anjing menggonggong kafilah berlalu. Setiap himbauan, larangan dan perintah penghentian proyek dijawab dengan guyuran iklan di media massa. Money talks, Lippo seolah ingin mengatakan uang yang berbicara.
Ternyata Lippo Group mulai merunduk dan secara terbuka mengakui kesalahannya sehingga harus meminta maaf, setelah diundang diskusi terbuka oleh Ombudsman pada Jumat (8/9) lalu.
Kesalahan itu adalah membangun dan memasarkan produk sebelum memiliki izin Amdal dan IMB
Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih menilai iklan Meikarta begitu bombastis namun melanggar aturan, alias ilegal.
Alamsyah menilai iklan yang disiarkan oleh Lippo merupakan bagian dari pemasaran. Tindakan ini melanggar Undang-undang Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun.
Dalam Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2011 disebutkan, pemasaran dapat dilakukan jika pengembang telah memiliki kepastian peruntukan ruang, hak atas tanah, status penguasaan rumah susun, perizinan pembangunan rumah susun, serta jaminan pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.
“Bagi kami sekali lagi itu adalah marketing dan tidak boleh dilakukan sebagaimana di UU Nomor 20/2011. Itu salah,” kata Alamsyah di kantornya.
Dalam diskusi terbuka dengan Ombuds, manajemen Lippo menyatakan telah mengajukan izin Amdal) pada Mei 2017 kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi sebagai pertimbangan untuk penerbitan IMB.
Namun, saat proses kajian hampir selesai, tetiba Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat merekomendasikan untuk menghentikan kajian atas dasar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12/2014.
Selain itu, Deddy Mizwar menambahkan pihak pengembang Meikarta ternyata sudah memasarkan fasilitas yang ada di calon kota baru tanpa disertai rekomendasi dan izin dari Pemprov Jawa Barat.
Untuk itu, Demiz mengimbau kepada pihak pengembang untuk memperhatikan tiga kewenangan pemerintah yang tidak boleh dilanggar. Pertama, tidak melampaui kewenangan. Kedua, prosedur yang harus ditempuh dengan baik. Ketiga, substansinya tidak ditambah-tambah. Kalau ketiga hal ini dilakukan dengan baik maka akan selamat dalam jalur hukum.
Deddy mengatakan bila setiap pembangunan infrastruktur atau fisik, tidak memperhatikan tata ruangnya sendiri, maka bencana akan terjadi.
“Apa jadinya kalau tata ruang dilanggar? Keberlanjutan pelestarian lingkungan akan terganggu karena tata ruang sesungguhnya dibuat untuk itu, untuk menjaga keberlangsungan lingkungan,” paparnya.
Kantungi IPPT
Direktur Informasi Publik Meikarta Danang Kemayan Jati mengakui studi Amdal memang belum terbit. Dengan begitu, secara otomatis, IMB pun belum dipegang.
Namun, sebenarnya lahan Meikarta seluas 84,6 dari total 500 hektare sudah dibebaskan sepenuhnya.
“Areal 84,6 hektare ini kami sudah punya izin prinsip sampai Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dengan peruntukkan apartemen, rumah sakit, sekolah dan sebagainya. Kami kirim dokumen Amdal pada Mei 2017,” ujar Danang saat diskusi terbuka di Ombudsman.
Danang memaparkan, seperti membangun rumah-rumah di Lippo Cikarang, saat akan membangun proyek di Meikarta, Lippo juga mengajukan Amdal di Kabupaten Bekasi.
Dalam proses studi tersebut, kondisinya masih normal yakni Lippo diharuskan melengkapi beberapa dokumen. “Namanya menyusun Amdal kami kan enggak sendiri, tapi sama konsultan,” jelas dia.
Danang melanjutkan, Amdal kawasan sendiri sudah ada. Perusahaan sudah mengantongi Amdal kawasan sejak 1984. Saat itu, Amdal yang keluar adalah untuk kawasan industri. Kemudian ketika ada perubahan, Lippo mengikuti aturan dengan mengubah peruntukkan dan mengajukan kembali studi Amdal.
Jadi, Amdal untuk bangunan di atas lahannya, seperti apartemen dan rumah sakit untuk proyek Meikarta, masih dalam proses.
Studi Amdal ini memakan waktu lama karena membutuhkan sidang rekomendasi dari para ahli, hingga beberapa kali. Biasanya proses Amdal memakan waktu 2-3 bulan. Mengingat dokumen Amdal sudah diajukan sejak Mei 2017, Lippo berasumsi paling lama Agustus 2017 studinya sudah selesai.
Terlebih lagi, menurut dia, Lippo sudah mulai bisa membayar IMB setelah 3 bulan proses studi Amdal berjalan. Dengan mempertimbangkan perkembangan proses tersebut, Lippo kemudian memutuskan untuk melakukan soft launching Meikarta pada 17 Agustus.
Namun di ujung proses studi Amdal, muncul rekomendasi dari Pemprov Jawa Barat untuk menghentikan kajian yang dikeluarkan berdasarkan Perda Jawa Barat Nomor 12/2014.
“Sampai kemudian muncul ramai Perda. Terus terang selama mengembangkan Lippo Cikarang kami tidak paham Perda itu. Kami kembangkan di satu desa tidak sampai lintas Kabupaten. Apalagi izin lokasi sudah ada,” kisah Danang.
Sanksi Meikarta
Sangat jelas, bahwa dalam proses pengurusan izin dan proses pembangunan serta pemasaran Meikarta telah merendahkan kedaulatan negara dan pelanggaran prosedur yagn berlaku. Anehnya sama sekali Presiden Jokowi tak memiliki komentar.
Termasuk media massa mainstream seperti kehilangan daya kritisnya sehingga seperti membebek dengan miliaran iklan yang digelontorkan Lippo Group. Mereka asik menikmati kue iklan di tengah Meikarta yang tidak mematuhi prosedur perizinan.
Celakanya, media massa itu seperti mengalami kehilangan ideologi dan kehilangan keberpihakan atas penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance—GCG).
Lantas apa sanksi bagi korporasi yang membangun perumahan tapi tak memiliki izin Amdal dan IMB?
Pada dasarnya sanksi tidak dimilikinya AMDAL oleh pelaku usaha tidak diatur secara tegas di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27/1999 tentang Amdal.
Namun di dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) dinyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal wajib memiliki izin lingkungan.
Selanjutnya ditentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib menolak setiap permohonan Izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan Amdal (pasal 37 ayat (2) UU No. 32/2009).
Lebih lanjut dengan tanpa adanya izin lingkungan terancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar (pasal 108 UU No. 32/2009).
Kesimpulannya, tanpa adanya Amdal tidak mungkin dapat memiliki izin lingkungan sehingga terancam dengan pidana sebagaimana diatur di dalam pasal 108 UU No. 32/2009.
Sementara pengaturan mengenai IMB diatur lebih lanjut dalam PP No. 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 36/2005”). Setiap orang atau korporasi yang ingin mendirikan bangunan gedung harus memiliki IMB yang diberikan oleh pemerintah daerah (Pemda) melalui proses permohonan izin (Pasal 14 ayat [1] dan [2] PP 36/2005).
Bagaimana jika pemilik rumah atau properti tidak memenuhi kewajiban persyaratan pembangunan seperti tidak memiliki IMB?
Pemilik rumah atau proeprti dalam hal ini dapat dikenai sanksi administratif dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya IMB gedung (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki IMB gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran (Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005).
Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG).
Lippo Group bukan tak paham akan peraturan di atas, bahkan sangat paham. Sehingga lebih memilih melanggar aturan, sebagaimana telah menjadi track record Lippo Group. Dalam hal ini, Lippo Group lebih suka melanggar aturan dan membayar denda ringan ketimbang mengikuti aturan yang berlaku, karena memang Lippo Group terkenal cacat GCG.
Semoga ke depan Lippo Group bisa tampil dengan GCG, mematuhi aturan, dan tak lagi mendewa-dewakan money talks. Karena tak semua orang bisa dibeli.[] nusantaranews