Hari Anak Nasional 2018 sendiri mengambil kata GENIUS sebagai tema. GENIUS singkatan dari Gesit, Empati, Berani, Unggul, Sehat. |
Hari Anak Nasional yang jatuh hari ini, Senin (23/7), menjadi momentum menghentikan pernikahan usia anak. Ini ihwal mencipta generasi genius dan keluarga bahagia.
Hari Anak Nasional 2018 sendiri mengambil kata GENIUS sebagai tema. GENIUS singkatan dari Gesit, Empati, Berani, Unggul, Sehat.
Menyadari itu, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) merasa perlu advokasi sebagai jalan pencegahan terjadinya pernikahan usia anak.
Bertempat di Taman Melati, Kota Padang, Sumatra Barat, Minggu (22/7/2018), LP2M mengundang sejumlah komunitas remaja, komunitas perempuan, hingga instansi terkait untuk mengkampanyekan bertemakan hentikan pernikahan usia anak.
“Ada sekitar 90 orang yang datang. Mereka berasal dari Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput Sumbar, Forum Perempuan Muda Sumbar (Tanah Datar, Padang, Padang Pariaman), Forum Anak Padang, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumbar, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Padang, dan lainnya,” terang Koordinator Program Advokasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi LP2M Sri Ambarwati.
Dia menjelaskan, ‘Akhiri Usia Pernikahan Anak’ sengaja dipilih menjadi tema dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, karena problem saat ini masih banyak terjadi pernikahan di bawah umur (masih kategori anak).
Penelitian kita (LP2M), ungkapnya, pernikahan usia anak menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menurutnya ada tiga tujuan kampanye yang dilakukan yakni stop pernikahan usia anak; pentingnya pendidikan seksual (kesehatan tubuh dan reproduksi) bagi anak; dan akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Kita mendorong negara dan masyarakat hentikan tiga itu, sehingga hak anak terpenuhi seperti hak pendidikan, partisipasi ruang publik, dan hidup nyaman,” ujar Sri yang biasa dipanggil Ati.
Sejatinya, fenomena pernikahan usia anak makin hari makin meningkat . Dikatakan Direktur Eksekutif LP2M Ramadhaniati, untuk level dunia, Indonesia menduduki posisi ke 37. Sementara di tingkat ASEAN, Indonesia menempati posisi kedua di bawah Kamboja.
Berdasarkan hasil penelitian BKKBN, bebernya, data 2010-2015, pernikahan usia anak di Sumbar berjumlah 6.083 pasangan.
Sementara itu, lanjut Ramadhaniati, BPS Sumbar tahun 2016 mengambil sampel 10.200 rumah tangga, dengan hasil 10,22 persen pasangan menikah pada usia anak (di bawah 18 tahun).
“Jadi hasil penelitian itu, 1 dari 4 anak menikah di bawah usia 18 tahun.
1 dari 10 remaja usia 15-19 tahun itu telah melahirkan atau sedang hamil pertama,” kata Ramadhaniati.
Menurutnya, hal demikian merupakan pernikahan usia anak, berdampak secara sosial. Artinya, hak mendapatkan pendidikan sudah putus, kesempatan bekerja atau mengembangkan diri tidak bisa.
Alhasil, kata Ramadhaniati, kemiskinan menganga.
“Dampaknya juga soal kontribusi kematian ibu dan bayi, dikarenakan alat reproduksi belum kuat,” tukasnya.
Di samping itu, pernikahan usia anak menurut Ramadhaniati, rentan kekerasan dan cerai.
“Akhirnya mereka tidak bisa mengembangkan dirinya, termasuk enggan ikut dalam kegiatan sosial. Ekonomi rumah tangga cenderung tidak mapan,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya terus melakukan advokasi dan sosialisasi bahaya pernikahan usia anak.
“Kita merasa perlu dihentikan pernikahan usia anak untuk meningkatkan harapan hidup bagi ibu dan bayi. Kemudian memastikan hak atas kesehatan reproduksi anak perempuan, meningkatkan kesempatan mengakses pendidikan. Meningkatkan kemampuan anak perempuan untuk menjadi ibu yang berkualitas,” paparnya.
“Itu makanya perlu menunda atau menstop perkawinan anak,” kata Ramadhaniati lagi.
Dia juga menyayangkan, Kantor Urusan Agama (KUA) yang sering mengabaikan
UU tentang pernikahan. Dengan alasan takut berbuat zinah, seringkali KUA melapangkan jalan pernikahan siapa pun tanpa menyaring usianya.
“Maka hari ini, kita sepakat mengkampanyekan mari akhiri pernikahan usia anak,” pungkasnya.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) Provinsi Sumbar Quartita Evari Hamdiana, yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan, Hari Anak yang jatuh hari ini, 23 Juli, untuk tingkat nasional dipusatkan di Pasuruan, Jatim.
“Berkumpul lebih kurang 3000 anak berprestasi. Dengan tema anak sebagai pelaku pembangunan, maka dikumpulkan anak berprestasi. Artinya kita harus menghilang image negatif, dan memandang anak bagian penting elemen generasi muda. Generasi muda menentukan peradaban suatu bangsa,” terangnya.
Dia mengapresiasi kampanye yang dilakukan LP2M.
“Dari Provinsi Sumbar, karena ini suatu kegiatan advokasi kesehatan reproduksi remaja. Kita harus memutus daur ulang, agar permasalahan remaja bisa diatasi. Kalau sudah terjadi, sulit menyelesaikan. Salah satu memutus mata rantai adalah kegiatan pencegahan,” tuturnya.
Diceritakannya, mengenai pernikahan usia anak sebanyak 116 negara telah bersepakat, dengan hasil 100 komitmen, antara lain menghapus angka pernikahan usia anak.
Menurutnya, ada 700 juta perempuan di dunia menikah berada pada usia anak-anak atau di bawah 18 tahun.
“Indonesia penyumbang terbesar. Untuk daerah, Pasuruan terbesar. Maka di situ ada program inovasi yakni Posyandu Remaja. Ini mungkin bisa kita adopsi. Posyandu remaja tempatnya bisa seperti karang taruna, kegiatannya mengenai sosialisasi, advokasi, melalui seni seperti yang dilakukan LP2M hari ini. Di samping menyampaikan, akan mengangkat generasi muda mencintai seni budaya Minangkabau,” jelas Quartita.
Paling penting dampak usia pernikahan usia anak, menurutnya kematangan alat reproduksi.
Dia mengaku, soal batasan usia nikah sekarang memang masih dilema. Sebab UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, batas usia pernikahan adalah 16 tahun.
“Menurut kami ini perlu disuarakan. Karena berdasarkan kesehatan dan kematangan biologis,” tukasnya.
Dampak pernikahan usia anak, sebut Quartita, anak yang dilahirkan kadang cacat.
“Paling banyak sekarang anak autis. Ini kadang permasalahan ibunya sewaktu hamil. Karena pernikahan usia anak, suami belum mapan, saat hamil tertekan bathin,” ujarnya.
Koordinator Advokasi Forum Anak Kota Padang Nadya Aras, 17, yang terlibat dalam kampanye akhiri pernikahan usia anak, memandang pencegahan dan sosialisasi dampak pernikahan usia anak mesti terus digalakkan.
Menurutnya, pernikahan usia anak banyak dampak negatifnya, antara lain, tidak siap secara reproduksi. Lalu, aspek ekonomi belum mapan.
“Mutu pendidikan masih rendah, sehingga terancam masa depan,” tukasnya.
Narahubung: Sri Ambarwati (082384426377)