Siapa yang akan menjaga seni tradisi ? Pertanyaan yang bila dijawab akan sangat panjang uraiannya. Namun secara sederhana dan sebagai jawaban papaleh tanyo sajo, mestinya kita seniman – khususnya seniman tradisi – harus menjaganya.
Pertanyaan lanjutannya, bagaimana cara menjaganya ? Lebih panjang lagi kalau diuraikan. Selain menyangkut sistem, mekanisme, komitmen, kepemimpinan, juga aura perpolitikan semasa.
Semua saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Itulah pertanyaan yang dilontarkan Ery Mefri, Koregrafer Internasional, pemilik Sangar Tari Nan Jombang (Ladang Tari Nan Jombang) kepada hadirin yang hadir menyaksikan Festival Nan Jombang Tiap Tanggal Tiga, Sabtu malam lalu, sebelum menampilkan Randai Gombang Alam Sari Ameh.
Pertanyaannya memang tidak spesifik ditujukan kepada saya. Tapi sampai tulisan ini dibuat, pertanyaan itu selalu mengelitik saya untuk menulis lagi tentang ‘tradisi’ berkesenian kita di nagari ini. ‘Tradisi’ yang saya maksudkan, tidak hanya menyangkut seniman tradisi itu sendiri, pemegang kekuasaan setempat, pun orang-orang yang peduli.
Suatu saat, seorang teman kehilangan akal mencari grup kesenian yang bisa dibawa untuk bisa tampil dalam Festival Media Tradisional yang diadakan sebuah instansi Pemerintah Provinsi. Grup Kesenian Randai yang bisa menampilkan dalam satu paket pertunjukan ada musiknya, dialognya, tarinya, dan bisa disusupi pesan ‘pembangunan’ dalam durasi waktu terbatas.
Begitulah ! Akibat kurang data, kurang bertanya, dan memang karena sudah langka, akhirnya ia bawa saja beberapa orang Pesaluang dan Pendendang Saluang Tradisi dan mentas di ibukota provinsi.
Peserta lain atau penonton lain tidak akan mungkin akan manggalak-an, namun yang pasti ditanyakan orang, tidak adakah pembinaan seni Randai dan seni tradisi lain di kota tersebut ?
Kembali kepada pertanyaan di atas, pembinaan tradisi di nagari ini, masih tetap parsial.
Atmosfir kehidupan yang kian menyesakkan ; semua orang berpikir lebih praktis dan ekonomis.
Seniman-seniman tradisi kita hari-harinya bergelut dengan ongkos hidup yang makin mahal. Biaya pendidikan yang tidak murah, dan lain sebagainya.
Sementara para pemimpin karbitan hasil otonomi daerah lebih memikirkan bagaimana ia bisa bertahan dua periode dalam jabatannya. Baik sebagai walikota, bupati, maupun gubernur. Akibatnya, perhatian terhadap seni tradisi, ya .., hampir sekali lima tahun pula. Ketika orang mau Pilkada.
Jadi, bagi yang kadung terlanjur berjalan di seni tradisi, berusahalah selalu survive dengan mencari dan melibatkan pihak-pihak yang memilliki sedikit perhatian dan menjadi ‘penjaga’.
Masih adakah orang seperti itu ? Ada ! Selain Ery Mefri dengan Ladang Tari Nan Jombangnya, juga saya melihat ada grup tari tradisi yang masih eksis seperti Grup Syofyani (?), belakangan saya dengar Fauriza dengan Citra Kembara-nya, dan lain-lain.
Di instutisi lain, saya juga dengar Radio Harau Payakumbuh masih eksis dengan Saluang Dendang tiap Rabu malamnya, ada beberapa sasaran silat yang masih berlatih di kampung-kampung namun kurang terekspos, dan lain-lain.
Mungkin ada yang luput dalam catatan saya, kiranya bisa dibantu menambahkannya.
Kepada teman tadi, saya pernah ajukan pertanyaan nyeleneh : “Sejak Januari 2017 – Januari 2018, sudah berapa kali anda nonton randai di kota ini ?”
Dia mengangkat bahu sambil mencibir !
“Nonton Dikia ?”
“Mancaliak Urang Basijobang ?”
“Mandanga Sampelong ?”
“Urang Basirompak ?”
“Poniang, Den mang !” Jawabnya.
Saya sendiri biarlah berdiri menjadi penjaga seni tradisi lewat kata dan kalimat seperti yang pernah saya lakukan kepada Grup Tari Nan Jombang beberapa tahun lalu dan grup seni tradisi lainnya dan akan terus lanjut entah sampai kapan ? (ul).