RANAH Minangkabau berduka. Karena Raja mereka meninggal dunia Kamis malam, 1 Februari 2018 di RS Padang, Sumatra Barat. Baginda Raja Pagaruyung Daulat Yang Dipertuan Rajo Alam Minangkabau, Darul Qorror Sultan Muhammad Taufiq Thaib Tuanku Maharajo Sakti, meninggal dunia di usia 69 tahun.
Kepergian Sultan Muhammad Taufiq menghadap Allah SWT, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok Sumbar. Sebagian besar rakyat pun berduka. Mereka kehilangan sosok yang sangat paham dengan adat istiadat Minang dan pengawas warisan kebudayaan yang tekun. Sultan, meskipun tak memiliki kekuasaan di pemerintahan, tapi sangat dimuliakan dan dihormati. Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, juga buru buru menyusul ke Rumah Sakit dan meminta agar jenazahnya diselenggarakan dengan sebaik baiknya di Batusangkar, Tanah Datar.
Puti Reno Raudhah Thaib, salah seorang kerabat kerajaan menyebutkan, almarhum akan dikebumikan di Pagaruyung, Kabupaten Tanah Datar dengan tata cara kerajaan usai shalat Jumat. Mereka juga mengundang sejumlah perwakilan raja-raja nusantara untuk menghadiri upacara pemakaman.
Gubernur Sumbar mengaku sangat kehilangan. Menurut dia, Raja Pagaruyung merupakan sosok langka, yang memahami tradisi, adat istiadat, dan sejarah berdirinya Kerajaan di Minangkabau secara mumpuni. Karenanya gubernur berharap ada yang bisa menggantikan almarhum untuk terus mempertahankan sendi-sendi adat dan budaya Minangkabau. Menurut rencana, awal tahun 2018 ini, Presiden RI Joko Widodo akan diberi gelar Adat di Astana Pagaruyung. Namun dengan meninggalnya Sultan, dia minta agar pihak kerajaan membicarakannya kembali.
Data yang ada di Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Kantor Gubernur Sumbar mencatat, Sultan Muhammad Taufiq dinobatkan menjadi Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung setelah wafatnya Puti Reno Dismah (Tuan Gadih XVI) 2007. Bersamaan dengan saudara perempuannya yang dinobatkan sebagai Bundo Kandung Yang Dipertuan Gadih (Tuan Gadih XVII), Sultan Taufiq dipercaya sebagai Raja Adat dan Raja Tanah Pagaruyung.
Memang, kedudukan Raja di mata pemerintah, hanyalah jabatan simbolik saja. Karena Sultan tak memiliki kekuasaan apapun di pemerintahan Sumatera Barat atau Pemda Tanah Datar. Namun di Masyarakat Adat Sumatera Barat, almarhum yang pernah menjadi anggota DPR-RI ini, benar benar diakui sebagai seorang raja, seperti layaknya raja raja Minang terdahulu.
Raja Minang terdahulu memang memiliki sejarah yang sangat panjang. Beberapa sejarahwan Indonesia mencatat, Pagaruyung di abad ke-9 Masehi sudah ada. Namun 400 tahun setelah itu, baru tercatat berdasarkan sejumlah prasasti yang ditemukan. Beberapa prasasti menyebutkan, Minangkabau adalah keturunan dari Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, Raja Kerajaan Dharmasraya, yang lokasinya kini menjadi salah satu kabupaten di Sumbar.
Mantan Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Sumatera Barat, H. Kamardi Rais Datuk Simulie (Alm) pernah menulis, di antara keturunan Tribhuwanaraja adalah Adityawarman, sang penerus Kerajaan Pagaruyung. Adityawarman pernah bekerjasama dengan Kerajan Majapahit. Ayahnya Jawa dan Ibunya dari Pagaruyung bernama Dara Jingga. Pada era Adityawarman, dari manuskrip yang dipahatkan di belakang Arca Amoghapasa tahun 1347, Adityawarman mengangkat dirinya sebagai Maharajadiraja Pagaruyung dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. Dia memerintah dari tahun 1347 hingga meninggal dunia 1375. Dalam Prasasti Batusangkar dijelaskan, setelah meninggal dia digantikan anaknya Ananggawarman.
Kata Kamardi yang juga mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar ini, Adityawarman dan Ananggawarman berkediaman dan memerintah dari Istana Pagaruyung Silinduang Bulan di Batusangkar. Setelah itu tak ada lagi ditemukan catatan sejarah sampai abad 17, hingga terjadi Perang Padri (Perang antara kaum adat dibantu Belanda dengan kaum Islam). Karena sebagian besar data data itu dimusnahkan oleh orang orang tak dikenal. Bahkan di zaman Belanda berkuasa, para penjajah banyak mengangkut naskah naskah kuno Minangkabau ke negerinya.
Tapi dari catatan catatan masyarakat adat yang disebut Tambo, terdapat beberapa orang yang diyakini sebagai penguasa Minangkabau setelahnya. Mereka adalah Puti Panjang Rambut II. Puti ini adalah Ratu Minangkabau yang dikenal sebagai Bundo Kanduang. Dia adalah putri dari Yang Dipatuan Rajo Nan Sati; Dang Tuanku Sutan Rumandung. Kemudian, putra Puti Panjang Rambut II yang bernama Cindur Mato (Bujang Kacinduan) bergelar Rajo Mudo, pernah pula menjadi Sultan. Setelah itu Sultan Lembak Tuah (Sutan Aminullah), putra Cindur Mato dengan Puti Reno Bulan, adik perempuan Puti Bungsu.
Dalam Tambo inilah juga tercatat, hubungan antara Minangkabau dengan Kerajaan Indrapura yang oleh beberapa pemerhati sejarah, terletak di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Tapi sebagiannya lagi menyebut, Bundo Kandung mengungsi ke Kerajaan Sri Indrapura yang diyakini berada di Siak yang kini masuk Provinsi Riau. Karena dalam satu cerita di Tambo disebutkan, Bundo Kandung bersama Dang Tuanku dan Puti Bungsu, menyelamatkan diri ke sebuah negeri yang terletak dalam wilayah Kesultanan Inderapura. Mereka hijrah dari Pagaruyung untuk menghindari ancaman Kerajaan Sungai Ngiang di Minangkabau Timur.
Cerita tentang mengungsinya Bundo Kandung ke Indrapura, bertahan hingga masuknya Islam ke Minangkabau. Ketika itu, masyarakat adat Minang mengangkat seorang Raja Alam dengan gelar Yang Dipertuan Pagaruyung, bertakhta di Istana Silindung Bulan di Batusangkar. Raja Alam adalah seorang dari tiga Raja Minangkabau yang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo.
Dan, pada 10 Februari 1821, Raja Alam Sultan Bagagarsyah bersama 19 orang pemuka adat lainnya ikut menandatangani perjanjian dengan penjajah Belanda untuk bekerjasama melawan kaum Padri. Penandatangan kesepakatan dengan Belanda inilah, menurut Kamardi Rais Datuk Simulie, awal dari keruntuhan Kerajaan Pagaruyung. Karena mereka hanya jadi alat penjajah untuk melawan kekuatan Kaum Padri yang dikomando oleh ulama ulama Islam. Belanda kesulitan untuk memberangus Kaum Padri yang meminta agar masyarakat Minang menjadikan; Adat bersendi Syarak (agama), Syarak bersendi Kitabullah (Al Quran dan Hadist). Syarak mengata, Adat memakai. Dalam sejarah Minang, kemudian tercatat bahwa Kaum Padri akhirnya menguasai Minangkabau dan menjadikan Islam sebagai agama utama, termasuk dalam pemerintahaan Kerajan Pagaruyung yang kemudian bangkit kembali. ***
APA hubungan Pagaruyung dan Kerajaan Sri Indrapura? Hubungan yang jelas adalah sesama Kerajaan Melayu Islam. Orang Minang adalah Melayu. Begitu juga dengan orang Indrapura. Tak ada orang Melayu yang tidak beragama Islam. Begitu juga dengan orang Minang. Jika mereka tidak Islam, berarti mereka bukan orang Minang atau orang Melayu Riau.
Kerajaan Sri Indrapura, dari data Dinas Pariwisata Riau disebutkan, merupakan kerajaan yang awalnya didirikan di Buatan, Siak oleh Pewaris Tahta Kerajaan Johor yang mengasingkan diri ke Pagaruyung bernama Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah atau lebih dikenal dengan nama Raja Kecik, tahun 1723. Beliau adalah Putra Sultan Mahmud Syah, Raja Kerajaan Johor yang dibunuh. Untuk menyelamatkan istrinya yang sedang hamil, Sultan Mahmud mewasiatkan agar anaknya dibawa ke luar Johor. Maka diselamatkanlah istrinya ke Kerajaan Melayu Jambi dan setelah lahir dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung.
Dalam memerintah, Raja Kecik mengundang beberapa cendekia dari Pagaruyung yang adalah teman temannya, sebagai penasehat ahli. Karena Raja Kecik berpendapat orang orang dari Pagaruyung adalah pemikir yang cerdas dan saudagar yang tangguh. Atas bantuan cerdik cendekia dari berbagai daerah, termasuk dari Minangkabau itu, Kesultanan Siak menjelma menjadi sebuah kerajaan perdagangan dan bahari yang tangguh di pesisir timur Sumatera, Selat Malaka dan Semenanjung Malaya. Kekuasaan Indrapura mencapai puncak perluasan wilayah, pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi. Ketika itu, Sri Indrapura sudah menguasai 12 wilayah kerajaan yang terdiri dari Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Deli, Langkat, dan Temiang yang berbatasan dengan Aceh dan wilayah taklukan Sambas di Kalimantan.
Meskipun kemudian pusat kerajaan sempat berpindah pindah, masa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Sri Indrapura dipindahkan ke kota Siak dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.
Pada masa Sultan ke-11, Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin, dibangun istana megah yang diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah tahun 1889. Dan setelah Syarif Hasyim wafat, dia digantikan putranya, Tengku Sulung Syarif Kasim yang diangkat menjadi Sultan tahun 1915. Dia ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II.
Saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, Sultan Syarif Kasim ikut mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan menemui Bung Karno untuk menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Dia juga menyerahkan Mahkota Kerajaan yang bertahtakan berlian serta uang sebesar 3 juta gulden.
Dan, sejak sat itu pula kisah Kerajaan Siak Sri Indrapura tutup buku. Karena Sultan Syarif Kasim tak memiliki keturunan, baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu, nasib kerajaan diserahkan kepada pemerintah daerah. Tahun 1968, Sultan meninggal dunia di Rumbai Pekanbaru didampingi oleh kerabat dekatnya. Sultan dimakamkan di tengah Kota Siak Sri Indrapura, disamping Mesjid Sultan Syahabuddin.***
BEGITULAH! Kisah Kerajaan Pagaruyung bermula dari 1375 Masehi. Sedang, Sri Indrapura ratusan tahun setelah itu atau tahun 1723 Masehi. Hebatnya, Pagaruyung yang berdiri lebih lama dengan konflik yang lebih banyak, lebih lama pula bertahan. Hingga petang kemarin, mereka masih memiliki seorang Raja Alam Yang Dipertuan Pagaruyung. Meskipun Raja Alam Minangkabau itu meninggal dunia, diisyaratkan akan ada penggantinya.
Sementara Sri Indrapura, yang belakangan lahir, lebih dulu pula punah. Kerajaan ini tinggal nama dan hilang bersama angin. Sejak meninggalnya Sultan Syarif Kasim 1968, hancur pula kekuasaan yang melekat pada Sultan beserta kekayaannya.
Itulah pula agaknya, di Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, masih sangat terjaga. Adat masih menjadi panglima di kehidupan sosial. Orang Minang akan malu, bila dituding sebagai orang yang tidak beradat. Pusaka tinggi, tanah ulayat, hutan larangan, hutan adat, masih terjaga dengan baik. Jangan coba coba menjual pusaka tinggi. Jangan coba coba menggarap hutan larangan atau tanah ulayat. Karena mereka memiliki Raja Alam atau Raja Adat yang turut mengawasi.
Sebaliknya di Riau, dari data kekayaan milik Kerajaan Siak Sri Indrapura, mulai dari sungai, hutan, tanah dan isinya sepanjang Pekanbaru, Buatan, Mempura, Siak, Bengkalis, Rokan dan lainnya, sudah tak tentu lagi ujudnya. Hutan dijarah, tanah dirampok dengan berbagai cara, sungai tercemar dan pengusaha asing merajalela. Perusahaan minyak, bubur kertas, perkebunan serta gas, sesuka suka mereka. Tak ada tanah yang bebas melata. Tak ada lagi hutan yang sejuk. Tak lagi ada angin berhembus. Tak ada lagi tanah ulayat dan hutan larangan.
Semua yang dulunya adalah milik Sultan dan Rakyat Kerajaan Sri Indrapura, hancur dibawah penguasaan bangsa asing. Habis ditelan kerakusan para penjarah. Entahlah! ***
H. DHENI KURNIA adalah Wartawan, Penyair dan Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Riau.(***).