IMPIANNEWS.COM (Padang).
Hari Ini, Kota Bukittinggi berulang tahun hari jadinya yang ke 233. Nama Bukittinggi didasarkan pada perubahan nama pasar sebagai pusat keramaian kota yang semula bernama “Bukik Kubangan Kabau” (karena dahulunya tempat ini memang sering dijadikan sebagai tempat mengembalakan kerbau), menjadi “Bukik nan Tatinggi ”, yang kemudian lebih populer disebut Bukittinggi.
Menurut penelitian para ahli sejarah, pada tanggal 22 Desember 1784, diadakan pertemuan besar berupa rapat adat seluruh Penghulu Nagari Kurai. Pangulu nan salingka aua, saadaik-salimbago ini membuat kesepakatan untuk mencarikan nama pasar yang telah menjadi urat nadi Nagari Kurai waktu itu. Hasil kesepakatan waktu itu diberi nama Bukittinggi.
Berdasarkan hal-hal di atas, Pemerintah Kota Bukittinggi mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat baik yang berada di daerah maupun di perantauan, dan terakhir meminta pendapat DPRD memberikan alternative tanggal yang dapat ditetapkan sebagai hari jadi Kota Bukittinggi, setelah meminta pula pendapat beberapa Tokoh masayarakat baik yang berada di Kerapatan Adat Nagari (KAN) maupun Kerapatan Adat Kurai (KAK) dengan disertai harapan, hendaknya Pemerintah Daerah undalam penetapan tanggalnya agar menunjuk suatu Badan atau Lembaga yang professional di bidangnya untuk menseminarkannya. Pemerintah Kota Bukittinggi, bekerjasama dengan Universitas Andalas dan beberapa pakar sejarah baik di daerah maupun di tingkat nasional telah menseminarkannya.
Hasil seminar tersebut mendapat persetujuan DPRD Kota Bukittinggi dengan Surat Keputusan No.10/SK-II/DPRD/1988 tanggal 15 Desember 1988, akhirnya Pemerinath Daerah dengan Surat Keputusan walikota Kepala Daerah Kota Bukittinggi No. 188.45-177-1988 tanggal 17 Desember 1988 menetapkan Hari Jadi Kota Bukittinggi tanggal 22 Desember 1784 .
Bukittinggi di Zaman Belanda
Kota Bukittinggi terletak di dataran tinggi Agam, satu kota yang sejuk dan indah dengan alamnya yang permai, kira-kira 90 kilometer dari Kota Padang. Hindia Belanda menamakan kota ini dengan “ Fort de Kock” . Kota ini tidak dapat dilepaskan dengan benteng Fort de Kock, sebagai salah satu icon masa pendudukan Hindia Belanda. Adapun pendirian benteng ini erat hubungannya dengan para panghulu kaum Kurai yang memberikan sebidang tanah kepada Belanda. Pemberian ini bertujuan untuk bekerja-sama dalam melawan kaum Paderi. Tanah pemberian ini kemudian dijadikan tempat berdirinya Benteng Fort De Kock pada tahun 1926 oleh Kapten Bauer dan namanya mengambil nama Baron Hendrik Merkus de Kock, yang merupakan salah seorang pimpinan Hindia Belanda pada masa itu. Namun,tidak dinyana, kemenangan Belanda atas kaum Paderi juga menjadi pintu untuk menguasai Ranah Minang dengan melebarkan kekuasaannya kesegala penjuru.
Hindia Belanda menjadikan kota yang berawal dari sebuah pasar atau pakan yang dikelola para panghulu kaum Kurai ini, berdasarkan Besluit dari Gouvernement Kommissaris Cochius tertanggal 29 November 1837 diputuskan bahwa status keresidenan Sumatera Barat ditingkatkan menjadi Gouvernement, sehingga sejak itu namanya berubah menjadi Gouvernement van Sumatra’ Weskust dengan pimpinan tingginya dalah Gouvernour (lengkapnya Civiele en Militaire Gouvernoer atau Gubernur Sipil dan Militer ) Bukittinggi sebagai ibukota Afdeling van Padangsche Bovenlanden dan juga ibukota Fort de Kock (Oud Agam dan VII Koto.
Bukittinggi di Zaman Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, Pemerintah Militer Jepang yang tertinggi berkedudukan di Singapura, Bandar mana di tukar namanya menjadi “Shyonanto”. Pemimpin Tertinggi dari Komando Asia Timur Raya ini kemudian berkedudukan di Dalat, dekat Saigon.
Sumatera Barat diperintah oleh seorang Residen, Yano Kenzo. Kantornya berada di Padang, sedangkan Bukittingi dijadikan tempat kedudukan Gunseikan dan Gunsereikankan untuk seluruh Sumatera.
Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Bukittingi Sejak Kemerdekaan
Sejak kemerdekaan Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Propinsi Sumatera dengan Gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan.
Kota Bukittinggi dengan ketetapan Gubernur Propinsi Sumatera No. 391 tanggal 9 Juni 1947 tentang pembentukan Kota Bukittinggi sebagai Kota yang berhak mengatur dirinya sendiri.
Pada zaman perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, dimana cikal bakal pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) di bentuk di Kota Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 yang deklerasikan pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban Kabupaten Limapuluh Kota.
Kemudian dalam peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959 Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang sekarang masing-masing Keresidenan itu telah menjadi Propinsi-propinsi sendiri.
Kota Besar Bukittinggi sebagaimana yang diatur Undang-undang No. 9 tahun 1956 tentang Pembentukan Otonom Kota Besar Bukittinggi dalam lingkungan Propinsi Sumatera Tengah jo Undang-undang Pokok tentang Pemerintah Daerah No. 22 tahun1960.
Kotapraja Bukittinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pemerintah Daerah No. 1 tahun 1957 jo. Pen. Prs. No. 6 tahun 1959 jo. Pen. prs. No. 5 tahun 1960.
Setelah keresidenan Sumatera Barat dikembangkan menjadi Propinsi Sumatera Barat, maka Bukittinggi ditunjuk sebagai Ibu Kota Propinsinya, semenjak tahun 1958 secara defacto Ibukota Propinsi telah pindah ke Padang namun secara deyuire barulah tahun 1978 Bukittinggi tidak lagi menjadi Ibukota Propinsi Sumatera Barat, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1979 yang memindahkan Ibukota Propinsi Sumatera Barat ke Padang. Dan Kota Bukittinggi berstatus sebagai Kota Madya Daerah Tingkat II sesuai dengan undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok Pemerintah di Daerah yang telah disempurnakan dengan UU NO. 22/99 menjadi Kota Bukittinggi.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok Anam Suku, Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang. Namun, sebagian masyarakat di nagari-nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi sehingga, peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan. (Saiful Guci 22 Desember 2017/(ul)