Agaknya, pasti ada yang bertanya-tanya kenapa Padang meraih penghargaan ini. Sebagai warga Kota Padang, diakui memang, cukup banyak perubahan wajah Kota Padang dalam beberapa waktu belakangan ini. Perubahan tersebut menandakan adanya perhatian dan kesungguhan pemerintah untuk menata kota lebih baik. Tidak saja penataan kepada infrastruktur dan lainnya, tetapi juga penanaman nilai kebenaran dan akhlak bagi masyarakat.
Mungkin kita belum lupa dengan maraknya kasus tawuran antar pelajar yang hampir terjadi setiap malam di Kota Padang. Terlebih pada saat bulan Ramadhan lalu. Banyak korban berjatuhan akibat ‘cakak banyak’ itu. Satpol PP pun sempat dibuat kewalahan karenanya.
Melihat kondisi itu, Pemko Padang langsung merespon. Pemerintah tak ingin pemudanya rusak jiwa dan akhlaknya. Bekerjasama dengan kepolisian setempat, Pemko Padang kemudian menelusuri kasus tawuran ini. Setelah mengetahui lebih dalam dan mengenali pelaku tawuran, Pemko Padang menangkap dan membina mereka. Sekitar 40 pelaku tawuran yang pada umumnya masih berusia muda dibina mental dan kepribadiannya di Batalyon Infanteri 133 Yudha Sakti.
Menariknya, selama dibina oleh TNI, seluruh pemuda itu tidak pernah melawan maupun berbuat kasar. Mereka lebih santun dan mengikuti setiap materi yang disampaikan oleh TNI. Lebih seminggu mereka ‘dikarantina’. Selama itu pula pendekatan persuasif diberikan oleh TNI. Tidak ada jarak antara pemuda dan TNI. Semua seperti bersaudara. Bahkan seperti orangtua dengan anak.
Setelah itu, memang ada yang berbeda di diri mereka yang keluar dari ‘karantina’. Sikap dan perilaku mereka sangat berbanding terbalik ketika sebelum dibina oleh TNI. Lebih santun. Saling menghargai sesama. Ada pula yang berprestasi ketika mereka kembali ke sekolah.
Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan pemuda lebih memilih berkelahi dengan sesama? Cukup banyak sebenarnya faktor yang mengakibatkan mereka harus beradu fisik. Salah satunya yakni kurangnya perhatian dari orangtua. Tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara orangtua dan anak mengakibatkan anak lebih memilih ‘lari’ dari keluarga dan berinteraksi dengan kawan sekitar. Sayangnya setelah itu, interaksi dan informasi yang didapat dari teman sebaya tentu tidak bernilai baik. Hal inilah yang kemudian menimbulkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan seperti penggunaan obat-obatan terlarang, tawuran, seks bebas dan sebagainya.
Galibnya, keluarga merupakan tiang utama dan proteksi bagi anak dari hal negatif. Menurut Dasrun Hidayat dalam bukunya “Psikologi Untuk Keluarga”, fungsi komunikasi dalam keluarga selain bisa berdampak pada keharmonisan keluarga, juga akan berdampak pada suatu hal yang sangat baik dan semua itu tergantung pada komunikasi yang efektif.
Dasrun juga menjelaskan delapan fungsi pokok komunikasi dalam keluarga. Keluarga akan menjadi fungsi edukatif bagi seluruh anggota keluarga. Sebab, dengan terjalinnya hubungan intetrkasi yang baik akan mendidik anak menjadi lebih baik.
Selain itu, kehadiran keluarga akan menjadi fungsi sosialisasi. Dalam rangka melaksanakan fungsi sosialisasi ini, keluarga mempunyai kedudukan sebagai penghubung antara anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial yang meliputi penerangan, penyaringan, dan penafsiran ke dalam bahasa yang dimengerti oleh anak.
Keluarga juga menjadi fungsi protektif. Anak akan merasa nyaman dan aman jika terlindungi dengan baik oleh orangtua. Dengan adanya rasa aman dan nyaman itulah kemudian anak akan menjaga lingkungannya sendiri.
Keluarga juga menjadi fungsi afeksional. Yang dimaksud dengan fungsi afeksi adalah adanya hubungan yang sosial yang penuh kemesraan dan afeksi. Sebab, anak biasanya mempunyai kepekaan tersendiri akan iklim-iklim emosional yang terdapat di dalam keluarga. Dan kehangatan keluarga akan sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak.
Keluarga menjadi penggerak religiusitas. Lewat keluarga pula lah akhirnya anak mengenal kehidupan beragama. Sehingga dengan lewat didikan ini anak akan menjadi manusia yang beragama sesuai dengan keyakinannya. Serta keluarga menjadi fungsi ekonomi, rekreatif, dan biologis.
Perhatian dari keluarga terhadap anak inilah yang selalu diharapkan Pemko Padang. Dan sebenarnya, upaya Pemko Padang membina generasi muda sudah digaungkan sejak jauh-jauh hari. Masih ingat dalam benak kita pada tahun sebelumnya Walikota Padang mengimbau warganya untuk menyiapkan diri menghadapi bonus demografi yang akan terjadi pada saat Indonesia merayakan kemerdekaan ke-100 nanti. Di mana pada saat itu jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh usia produktif. Walikota mengajak warganya untuk bersiap-siap menghadapi bonus demografi dengan menyiapkan mental dan pendidikan anak sejak sekarang. Karena pemuda sekarang adalah pemimpin di masa datang.
Tidak saja mengimbau warganya untuk bersiap menyambut bonus demografi. Pemko Padang juga melaunching program “1821” baru-baru ini. Program yang mengajak kembali keluarga untuk dekat dengan anak. Memberikan perhatian lebih pada saat-saat genting, mulai pukul 18.00 hingga 21.00 Wib. Disebut saat-saat genting karena pada jam itulah banyak gangguan yang dihadapi anak. Mulai dari gangguan tayangan televisi hingga gangguan dari telepon selular.
Program ini mengajak seluruh keluarga untuk meninggalkan aktivitas yang mubazir. Mematikan televisi dan telepon selular. Orangtua diajak untuk memerhatikan anak dengan melakukan shalat maghrib dan isya berjamaah, mengaji bersama-sama, dan belajar dengan anak.
Hebatnya, sejak digagasnya program “1821”, angka tawuran di Kota Padang jauh menurun. Bisa dikatakan hampir tidak terjadi lagi tawuran. Dengan begitu, Pemko Padang telah berhasil memerankan kembali pemuda di tengah-tengah masyarakat.
Apa yang diberikan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nachrawi memang pantas didapat Kota Padang. Penghargaan “Kota Layak Pemuda” telah menjawab upaya rutin dan langkah bernas yang dilakukan Pemerintah Kota Padang dalam menjaga generasi mudanya. Selamat kepada Walikota dan Wakil Walikota Padang.**(penulis : Charlie Ch. Legi)